![](https://1.bp.blogspot.com/-1BlsxMLbN6w/XR2TqyIHrhI/AAAAAAAAOIw/eluJDp_VZKIJS0QgnqxsY3Hq5JJ9aAItwCLcBGAs/s640/hasan%2Bdi%2Btiro.jpg)
PERANG ATJEH 1873-1927 adalah buku karya
pertama Hasan Muhammad di Tiro, pendiri Aceh Merdeka yang kala itu masih
berjiwa republik dan setia pada Pancasila dan NKRI. Buku tersebut ditulis
sebagai bahan skripsi ketika Hasan muda berkuliah di Faklutas Hukum Universitas
Islam Yogyakarta dan diterbitkan pada 1948.
Demikian penjelasan Haekal Afifa, S.IP, Alumnus Jurusan Hubungan
Internasional Universitas Indonesia, yang juga Ketua Institut Peradaban Aceh
(IPA), Sabtu (26/3/2016) pada kegiatan peringatan 143 Tahun Perang
Belanda-Aceh, di kantor redaksi aceHTrend.Co, di bilangan Cendana III,
Jeulingke, Banda Aceh.
Menurut Haekal, sesuai dengan catatan sejarah, Wali Neugara Hasan Muhammad
di Tiro adalah sosok yang sangat cinta kepada Indonesia,itu bisa dilihat dari
beberapa catatan dan tulisan yang bertebaran di internet bahwa ayah dari Karim
Tiro adalah sosok yang nasionalis alias republiken. Hasan Tiro pernah menjadi
ketua Badan Pemuda Indonesia (BPI) Di Lamlo yang pernah mengibarkan bendera
Indonesia.
Ihwal kenapa kemudian Hasan berbalik arah dan melawan merah putih? Menurut
Haekal ada beberapa alasan. Diantaranya adanya sesuatu yang salah dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. Hasan di Tiro pernah mewacanakan gagasan demokrasi
untuk Indonesia yang ditulis dalam sebuah buku. Namun dengan gagasan itu pula,
Pemerintah RI yang saat itu dikendalikan oleh Soekarno, menjadikan Hasan di
Tiro sebagai lawan politik.
Haekal juga menjelaskan, Bila selama ini ada yang mengatakan bahwa
perlawanan yang dicanangkan oleh Hasan di Tiro adalah karena kekecewaan
disebabkan gagal “meminang” Arun dari Soeharto. Itu bentuk
penyesatan sejarah yang dilakukan oleh beberapa individu yang punya kepentingan
lain.
“Gagasan Aceh Merdeka diluncurkan jauh sebelum ladang Arun ditemukan. Ini
murni faktor ideologi. Ada yang tidak pas dengan konsep negara Republik
Indonesia. Wali pernah mencoba memberikan gagasan lain, namun ditolak dan dia
dimusuhi,” ujar Haekal.
Haekal juga menerangkan, jauh sebelum dia memutuskan bergabung dengan Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Komandemen Wilayah Atjeh, Hasan di Tiro
masih terus mencoba memberikan masukan tentang konsep membangun tata negara
Indonesia. Namun gagasannya tetap ditolak.
“Awalnya memang Wali Neugara adalah republike sejati. Kemudian berubah karena
persoalan mendasar. Ideologi. Dia melihat ada ketidakberesan dengan konsep RI.
Sebagai seorang pejuang dan ideolog, dia juga melompat-lompat dari gagasan
konsep keindonesiaan, nasionalisme Melayu dan selanjutnya ke Aceh Merdeka. Itu
waktunya tidak singkat,” ujar Haekal.
Dia juga menjelaskan, kenapa Wali neugara mendeklarasikan Aceh Merdeka
tahun 1976 sedangkan pondasi ideologis itu sudah terbentuk tahun 1960an?
“Hasil kajian saya ternyata ada satu faktor beliau mendeklarasikan GAM
Tahun 1976 karena resolusi PBB terkait Self determination itu baru dikeluarkan
tahun 1974, Itu kemudian dijadikan pondasi hukum untuk melakukan perlawanan
berdasarkan sejarah.
Dari sana dia kemudian merancang semua instrumen GAM,
berupa bendera, lambang, deklarasi dan lainnya,” pungkas Haekal.
Sumber: AcehTrend
0 komentar:
Post a Comment