Terjawab, Ternyata ini Sebabnya Aceh Tak Jadi Merdeka

Pernjanjian MoU RI dan GAM di Helsinki, 15 Agustus 2005 FOTO | Tribunnews

Pernjanjian MoU RI dan GAM di Helsinki, 15 Agustus 2005
FOTO | Tribunnews

Kenapa Aceh Tak Jadi Merdeka?

Lebih kurang  sudah empat belas tahun, setelah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menandatangani perjanjian MoU Helsinki di Filandia pada 15 Agustus 2005 silam. Aceh dilarang untuk bicara merdeka maupun Referendum.

Dari perjanjian tersebut terlihat keseriusan kelompok GAM tak lagi meminta merdeka, diantaranya mereka sudah menerima konstitusi NKRI, memotong senjata, pebentukan Partai Lokal sebagai senjata perjuangan politik, dan terakhir menjadi pejabat Indonesia di Aceh; ada yang jadi Gubernur, Bupati dan Walikota. Itulah pengorbanan terbesar gerakan yang sejak 4 Desember 1976 berperang melawan Indonesia demi menuntut kejelasan status Aceh sebagai sebuah negara merdeka.

Dulunya, para peinggi GAM dan Kombatan di lapangan, mereka telah bersumpah untuk mengikuti jaln Wali Neugara Hasan Tiro mapun ada yang Cuma simpati pada jalannya perjuangan, mereka semua sudah lazim tak pernah mengakui Indonesia atas sumpah yang sudah mereka ucapkan dan dalih jalannya damai, rakyat Aceh belum juga sepenuhnya menikmati arti 'merdeka dalam NKRI'. Hidup rakyat Aceh masih melarat, meuteng-paneng dan meutap-uyap (saya tak menemukan dua kosa kata yang cocok dalam bahasa Indonesia untuk istilah bahasa Aceh ini)Sementara yang memiliki saham sebagai 'pejuang Aceh' menikmati kemewahan, akses politik dan ekonomi yang mudah, sekali pun banyak juga di antara mereka tak dapat merasakan buah dari perjuangan itu.

Lantas sekarang, apakah rakyat Aceh sudah cukup dengan hidup terbuai dalam perdamaian dan sama sekali mereka tak memikirkan lagi untuk merdeka.

Hati orang Aceh siapa yang dapat menduga? Kalau ingin menguji apakah orang Aceh ingin merdeka atau tidak, memang memang tidak ada cara lain kecuali menggunakan mekanisme 'referendum' seperti tuntutan elemen sipil Aceh pada 1999 silam. Sebagai informasi, ketika Sidang Raya Rakyat Aceh untuk Keadilan (Sira Rakan) 8 November 2000, panitia menggelar jejak pendapat tak resmi, dan hasilnya sekitar 95 persen responden menjawab memilih merdeka (pisah dari NKRI).

Keadilan (Sira Rakan) 8 November 2000, panitia menggelar jejak pendapat tak resmi, dan hasilnya sekitar 95 persen responden menjawab memilih merdeka (pisah dari NKRI).

Belakangan ini, isu referendum Aceh kembali menggelinding,yang pernah terucap oleh petinggi GAM Muzakir Manaf alias Mualem. Walau semangatnya sangat jauh berbeda dengan perjuangan Referendum yang pernah berkibar yang digerakkan oleh mahasiswa dan pemuda pada era tahun 1999 silam.

Dulu, mencuaknya gerakan Referendum karena diantara RI dan GAM berdalih atas pandangan politik yang berbeda terhadap Aceh. Lantaran tiap harinya rakyat Aceh hidup dalam suasana menceka, mereka menjadi korban penembakan, menjadi korban peluru nyasar, penculikan dan meninggal ketika kontak senjata ataupun setelah kontak senjata TNI/Polri versus GAM.

Sedangkan sekarang, munculnya opini referendum murni karena pemaaman politik yang sempit dan tiada pemikiran apakah tawaran itu tepat maumpun tidak setelah keadaan terbalik ketika Aceh sudah damai.

Opini referendum yang mencuat belakangan ini, setelah dugaan pemilu presiden ada kecurangan yang dmenangkan oleh calon presiden petahana Jokowi, dan kita memaklminya di Aceh sendiri lebih dari 85% dimenangkan oleh calon Presiden Prabowo-Sandi. Tuntutan referendum karena Prabowo kalah Pilpres ini akan diingat sebagai sebuah aksi konyol yang akan jadi bahan tertawaan di tiap-tiap meja warung kupi di Aceh.

Kenapa demikian? Sebab, dulunya tawaran opsi Referendum Aceh bukan diputuskan dengan oblolan santai di warung kopi dan bukan pula “Keceplosan” seperti yang pernah klarifikasi dari ucapan Mualem mengenai “Lebih baik Aceh Referendum, ikuti jejak Timor Leste”. Bahkan setelah membawa opini referendum, sang Mualem mengatakan rakyat Aceh sangat cinta NKRI. 

Akan tetapi, dulunya kepuusan ajakan referendum diadakan dalam sebuah forum melibatkan banyak elemen gerakan di Aceh: Kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau (KOMPAS). KMPAN dan KARMA sebagai motor penggerak berhasil mengumpulkan 106 lembaga di Aceh, luar Aceh dan luar negeri. Setelah bersidang selama empat hari di Balai Teungku Chik di Tiro, mereka pun berhasil merumuskan sebuah solusi final penyelesaian konflik Aceh, dengan memberikan kehormatan kepada rakyat Aceh menentukan nasib sendiri: tetap bergabung dengan Indonesia atau pisah (merdeka). 

Sementara tawaran referendum kemarin, pengaruhnya tak begitu signifikan. Ini bisa kita lihat dari aksi yang mereka gelar di Simpang Lima, hanya diikuti belasan orang saja. Bandingkan dengan Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SUMPR) Aceh pada 8 November 1999, jutaan orang tumpah-ruah ke Banda Aceh. Mengenai dua gerakan yang sangat kontras ini, yaitu SUMPR sebagai aksi rakyat, sementaran opini referendum sekarang diakmulasi karena kekecewaan terhadap kecurangan Pemilu 2019.

Pun begitu, apa pun dalihnya, setiap upaya membangkitkan ruh gerakan pemisahan diri Aceh dari Indonesia harus dipandang sebagai persoalan serius. Ini penting untuk membuktikan bahwa ide 'merdeka' di hati orang Aceh belum sepenuhnya padam. Pasalnya, sejak RI dan GAM bersepakat damai di Helsinki sembilan tahun silam, perlahan-lahan tapi pasti, orang Aceh diajak untuk mengikis habis ide 'merdeka' yang sebelumnya sudah tertanam kuat di hati mereka. Anehnya, pihak yang mencoba mengikis habis itu juga orang-orang yang sama, yang sebelumnya mengajarkan orang Aceh untuk berpikir merdeka. Orang-orang seperti ini, saya pikir, akan memiliki tempat tersendiri di hati orang Aceh pada masa-masa mendatang.

Masalah seperti ini penting terus disuarakan dan ditulis. Di banyak tulisan-tulisan yang beredar sebelumnya, yang sering kali membuat kesimpulan bahwa MoU Helsinki merupakan sebuah kecelakaan sejarah. Kenapa berkesimpulannya demikian? Karena MoU Helsinki sudah menutup rapat-rapat pintu dan peluang Aceh untuk merdeka. Ini memang tak sepenuhnya salah para pimpinan kita di Swedia menerima otonomi dalam kemasan pemerintahan sendiri. Sebab, faktor gempa-Tsunami serta fokus Internasional terhadap kemanusiaan juga begitu menentukan. Hampir mustahil memaksakan ide Aceh Merdeka di tengah bencana dahsyat tersebut, yang tak hanya meluluh-lantakkan Aceh, melainkan merampas banyak nyawa di Aceh. Peristiwa tersebut kemudian bertemu dengan perasaan 'kelelahan berjuang' yang ditunjukkan beberapa pimpinan kita. 
Nasib Aceh benar-benar tidak menguntungkan.

Menghadapi dilema tersebut, tak ada yang bisa dilakukan oleh orang Aceh kecuali memelihara baik-baik ide merdeka yang sudah tertanam kokoh di sanubari orang Aceh. Ide tersebut tak boleh hilang dan dihilangkan dari pikiran dan hati orang Aceh, oleh siapa pun. Kita perlu merawatnya baik-baik. Sebab, jika ini tak dilakukan,ini justru khawatir, suatu saat di Aceh akan terjadi perasaan apatis dalam diri orang Aceh seperti peristiwa yang pernah terjadi di Baghdad semasa Khalifah Harun Al Rasyid [sejarawan perlu memeriksa kembali cerita ini]. Ketika itu, Khalifah ingin menguji kesetiaan rakyatnya terhadap Khalifah dan kerajaan. Dia pun mengeluarkan amaran kepada rakyatnya agar menyumbang sekaleng susu untuk khalifah. Rakyat diminta memasukkan susu itu di dalam bejana besar yang diletakkan di pusat kota. Semua rakyat berbondong-bondong ke pusat kota. Mulailah mereka menuangkan 'susu' bawaannya itu ke dalam bejana besar. Sebagian besar mereka berpikir, 'tak ada salahnya kalau cuma menuangkan sekaleng air putih, toh tidak akan ketahuan dan berpengaruh terhadap jumlah susu yang bakal terkumpul banyak itu.' 

Sore harinya, ketika petugas kerajaan mulai mengangkut bejana besar berisi susu itu untuk dilihat oleh Khalifah, mereka sama sekali tak menemukan susu di dalam bejana itu. Di dalam bejana hanya terisi dengan air putih. Rupanya, semua rakyat waktu itu berpikir bahwa'satu kaleng air putih tak akan berpengaruh terhadap jumlah susu yang bakal terkumpul banyak itu' dan masing-masing mereka ternyata menuangkan air putih saja. Akhirnya, bukannya susu yang terkumpul di hadapan khalifah, melainkan air putih!

Lalu, apa hubungan kisah tersebut dengan Aceh? Sekilas memang tak ada hubungan apa-apa. Tapi kalau kita selami lebih dalam lagi, cara berpikir rakyat dalam kisah tersebut mulai menghinggapi pikiran orang Aceh sekarang ini. Orang Aceh mulai apatis dan pesimis terhadap masa depan Aceh. Mereka sering pasrah ketika ditanya apakah akan ada lagi orang yang mau berjuang untuk kemerdekaan? "Soal Aceh merdeka biarlah itu dipikirkan oleh orang-orang tua yang menduduki posisi penting di pemerintahan sekarang," rakyat akan lebih sering menjawab seperti ini. Sementara di level orang-orang tua yang dulu dikenal sebagai pejuang, seperti terekam di media, mengaku sudah melupakan mimpi merdeka, dan sebagian lagi mulai berpikir bagaimana Aceh 'merdeka' dalam NKRI. Jadi, masing-masing orang di Aceh mulai menganggap bahwa 'memerdekakan Aceh' itu nantinya akan dipikirkan oleh orang lain dan oleh generasi selanjutnya, sementara orang Aceh lain juga berpikir demikian.

Jika kondisi ini yang terjadi terhadap Aceh, kita tak tahu harus menjawab apa ketika ada yang bertanya, 
Kenapa Aceh Tak Jadi Merdeka? dan paling-paling akan berseru, "Jangan menangis hanya karena sesuap nasi sudah habis kita makan!"


Dikutip sebagian dari: Jumpueng.com

0 komentar:

Post a Comment