BAGIAN II
BACA JUGA: UNGKAP FAKTA: BEGINI IHWAL IDEOLOGI SEJARAH ACEH VERSI HASAN TIRO | BAGIAN I
Mantan
pimpinan tertinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Dr Tgk Hasan Muhammad Di Tiro
hendak berjabat tangan dengan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf di Banda Aceh, Sabtu
(17/10). Kepulangan Hasan Tiro yang telah menjadi warga negara Swedia dan tokoh
penting lahirnya MoU Helsinki 15 Agustus 2005 itu diharapkan menjadi penguat
perdamaian di Provinsi Aceh.
FOTO | (ANTARA/Irwansyah Putra/ed/ama/09).
Tuah perdamaian Aceh dan hadirnya media teknologi telah memberi peluang
kepada kita untuk mengkaji dan mengakses dokumen-dokumen GAM serta buku-buku
dan tulisan yang ditulis oleh Tengku Hasan Tiro yang dulu saat konflik sangat
dilarang untuk dibaca apalagi memilikinya, hal ini menjadi sumber penting dalam
melihat motivasi dan ideologi perlawanan GAM secara objektif sehingga menjadi
sintesis atas apa yang selama ini diasumsikan terkait lahirnya perlawanan GAM.
Fakta-fakta tersebut mulai terkuak saat menginterpretasikan dokumen-dokumen
sejarah tentangnya.
Dalam bagian pertama tulisan ini; Konsep Sejarah Aceh Hasan Tiro – Bagian 1
dan dalam artikel Hasan Tiro dan Gugatan Nasionalisme sudah dibahas secara
implisit bahwa faktor ideologi menjadi alasan utama Tiro melakukan perlawanan
kepada Indonesia.
Sehingga, thesis dan argumen beberapa penulis tentang sejarah
GAM dan Tengku Hasan Tiro yang berontak karena faktor ekonomi dan sosial
sebagai faktor utama tidak memiliki sandaran ilmiah yang kuat, jauh dari nilai
objektif dan sangat diragukan bahkan bertolak belakang dengan fakta-fakta dan
sumber sejarah yang ada. Karena kenyataannya, penafsiran dan pertentangan
ideologi dan konsepsi negara (baca: faktor ideologi) di masa awal Indonesia
terbentuk menjadi alasan Tiro untuk melawan.
Selaras dengannya, sejarah Aceh pun tidak menjadi alasan utama Tiro untuk
bangkit melawan Indonesia. Faktor pertentangan ideologi yang berimbas terhadap
kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat Indonesia saat itu (Aceh
khususnya) menuntut Tiro untuk menjadikan sejarah – sebagaimana ancaman Tiro
pada tahun 1958 – sebagai instrumen politik untuk melawan Indonesia.
Dalam
tulisan ini, saya melompat dan tidak lagi membahas Nasionalisme Melayu yang
dibangkitkan Tiro tahun 1961. Karena pola perlawanan yang dilakukan Tiro
memiliki banyak persamaan dengan apa yang dilakukannya pada tahun 1954 dan 1961
bahkan sampai pada lahirnya Aceh Merdeka. Hanya saja, dalam Aceh Merdeka
instrumen politik yang digunakan begitu beragam (khususnya Sejarah Aceh)
menarik untuk dikaji sebagai salah satu konsep perlawanan dalam gerakan
kontemporer di Indonesia.
Guna membuktikan konsep sejarah Aceh yang ditulis Tiro sebagai instrumen
politik untuk melawan didasari oleh beberapa argumen; pertama, hampir dalam
semua tulisannya sejarah Aceh selalu dibenturkan dan dipisahkan dengan sejarah
Indonesia, dengan mengajukan beberapa alasan ilmiah Tiro mengkritik teori
sejarah Indonesia dan memberi paradigam baru untuk melihatnya sebagai sebuah
keragu-raguan hingga akhirnya “nasionalisme Indonesia” menjadi tabu dalam
pandangan rakyat Aceh.
Teori inilah yang membentuk rasa superiority
complex masyarakat Aceh pasca perang dengan Belanda, Tiro
membangkitkan kembali rasa bangsa teuleubeh melalui kesadaran
sejarah, secara bersamaan hal ini menjadi pondasi identitas ke-Acehan yang pernah
hilang akibat kolonialisasi Belanda dan konflik antara Aceh dengan Indonesia
setelahnya (Tiro:1968).
Jika sebelumnya, banyak tokoh dan sejarawan Aceh menjadikan spirit sejarah
untuk membangun kesadaran nasional dalam bingkai Indonesia dan sebagai upaya
untuk melawan kembalinya kolonialisme Belanda dan Jepang, maka ditangan Tiro
sejarah menjadi lebih tegas tidak lagi sebatas romantic historism tapi
sudah berubah menjadi nilai (value), identitas (identity) dan
harga diri (dignity) yang bersifat intangible(abstrak).
Konstruksi sejarah seperti ini tidak dibangun sebelumnya, baik oleh penulis
asing maupun penulis lokal, Aceh dan Indonesia (Afifa: 2013). Gagasan sejarah
Aceh yang di konstruksi oleh Tiro telah menjadi anti thesis bagi banyak penulis
sejarah yang menggabungkan teori dan fakta sejarah Aceh dengan lahirnya
Indonesia.
Sehingga, dalam pandangan Tiro orang yang menulis dan menggabungkan
sejarah Aceh dengan Indonesia pasca kolonialisasi Belanda dianggapnya sebagai lost
generation atau generasi yang buta politik dan pemerintahan
(Tiro:1968). Teori sejarah Aceh yang dibangunkan Tiro membuka tabir bagi banyak
generasi setelahnya untuk melihat kembali teori sejarah secara lebih luas dan
dinamis.
Kedua, Tiro menyadari sebagai sebuah gerakan pembebasan, Aceh Merdeka
memerlukan pondasi ideologis sehingga nantinya Indonesia tidak punya alasan
untuk menjadikannya sebagai gerakan kriminal atau teroris. Hal inilah, yang
membuat Tiro menjadikan sejarah Aceh sebagai pijakan ideologi dalam Aceh
Merdeka (Tiro: 1984).
Dalam hal ini, banyak peneliti dan pengkaji sering
terjebak dengan berasumsi bahwa Tiro ‘kerasukan’ tugas sejarah atau menganggap
Tiro sosok sekuler ataupun ashabiyah.
Padahal, Tiro secara
eksplisit menjelaskan dalam tulisan-tulisannya, bahwa sejarah Aceh adalah
bagian yang tidak bisa dipisahkan dari Islam. Secara inheren Islam include dalam
sejarah Aceh yang kedaulatannya sedang ia perjuangkan. Pandangan inilah yang
menarik beberapa tokoh intelektual Aceh untuk bergabung dengan Aceh Merdeka
bersama Tiro, sehingga menjadi bukti bahwa gerakan yang dibangun Tiro bukanlah
kumpulan orang-orang kecewa atau para pengangguran.
Paradigma atau asumsi
seperti ini, entah tidak pernah dilirik oleh para pengkaji sejarah Aceh Merdeka
dalam setiap proses heuristic nya atau memang mereka dibutakan
untuk melihat fakta-fakta ini secara objektif.
Ketiga, sejarah Aceh disamping menjadi martir untuk membentuk identitas dan
Nasionalisme Aceh juga dijadikan Tiro sebagai landasan yuridis untuk
membenarkan perjuangannya secara Hukum Internasional. Resolusi Majelis Umum PBB
yang lahir dalam kurun waktu 1960 sampai tahun 1974 khususnya mengenai
kedaulatan dan jajahan (Independence and Colonial) serta Self-Determination memberikan
kekuatan kepada Tiro untuk merumuskan lebih spesifik konsep sejarah Aceh
sebagai teori untuk memerdekakan Aceh dari Indonesia, salah satu konsepnya
adalah; Tiro mengajukan bukti-bukti ilmiah kepada PBB mengenai sejarah
kedaulatan Kerajaan Aceh Darussalam serta pertentangannya dengan Belanda.
Maka,
bisa kita saksikan dalam setiap tulisannya Tiro selalu menulis sejarah Aceh
Darussalam, karena baginya bukti Aceh Darussalam sebagai sebuah Kerajaan tidak
bisa dipertengkarkan (undisputed history) oleh siapapun, berbeda dengan
sejarah Samudra Pasai, Pedir, Linge, Isak, Lamuri, Benua atau lainnya yang bisa
dipertengkarkan (a disputed history) dan masih memerlukan bukti
pendukung lainnya untuk dijadikan sebagai argumen hukum (Tiro:1993).
Asumsi saya, setelah dikeluarkannya Resolusi Majelis Umum PBB itulah, pada
tahun 1976 Tiro baru memberitahukan kepada publik internasional tentang
perjuangannya melaluiRe-Declaration Aceh Merdeka di Gunong Halimon.
Lagi-lagi, Deklarasi Ulang ini adalah instrumen yang diciptakan Tiro untuk
melengkapi instrumen utamanya (sejarah Aceh) dalam melawan Indonesia dan
membuktikan kepada dunia bahwa Aceh Merdeka adalah sebuah national
liberation (Gerakan Pembebasan Nasional) bukan organisasi teroris
ataupun separatis, disamping itu Tiro juga menciptakan instrumen lainnya
seperti lambang Buraq-Singa, Bendera Bintang Buleun dan
pembentukan kabinet.
Untuk menyelaraskannya, Tiro melakukan deklarasi ulang itu
pada 4 Desember sebagai bentuk perjuangan lanjutan dalam menghadapi penjajahan,
dikarenakan pada tanggal 3 Desember 1911, Tengku Chik Maat di Tiro sebagai
simbol terakhir perlawanan Aceh dengan Belanda syahid dalam peperangan di Alue
Bhot, Tangse. 4 Desember menjadi pembenaran perjuangan Aceh Merdeka secara
Hukum Internasional.
Inilah sebabnya, tahun 1976 (setelah semua instrumen
dilengkapi) Tiro mendeklarasikan kembali Aceh Merdeka, ini menjadi jawaban
kenapa Tiro tidak mendeklarasikannya pada tahun 1960an.
Tengku Hasan di Tiro telah berhasil menjadikan sejarah Aceh tidak hanya
sebagai identitas dan harga diri, tapi beliau juga mampu menjadikan sejarah
sebagai argumen hukum untuk melakukan perlawanan atas setiap bentuk penjajahan,
yang hal ini tidak dimiliki dan mampu dilakukan oleh banyak sejarawan Aceh
lainnya.
Formulasi perlawanan baru yang dibangkitkan oleh Tiro menyadarkan kita
bahwa sejarah Aceh bukanlah sekedar cerita usang yang tidak bermakna untuk masa
depan, dan bukanlah sebatas kronika yang membosankan untuk dikaji ulang.
Sejarah adalah asal-usul, deskripsi siapa dan bagaimana kita sebenarnya yang
berdiri hari ini diantara masa lalu dan masa depan, rakyat dan pemerintah
memiliki kewajiban yang sama untuk memikul dan merawat setiap bukti sejarah,
karena hanya sejarah yang membedakan kita dengan generasi haramjadah.
Baginya, sejarah telah menjadi marwah, karena marwah sama harganya dengan
darah.
Sumber: AcehTrend
0 komentar:
Post a Comment