Sejak itu dia menjelajahi
sejarah, menulis sekian pamflet tentang nasionalisme Aceh. Pada karyanya yang
lain, “Atjeh Bak Mata Donja”(Aceh di Mata Dunia) ditulis dalam bahasa
Aceh pada 1968, dia menguraikan problem absennya kesadaran historis dan politis
rakyat Aceh setelah Perang Belanda. Dia mulai merekonstruksi sejarah Aceh, dan
menegasi segala upaya integrasi dengan republik.
Hasan mengkaji lima editorial
The New York Times sepanjang April–Juli 1873, fase pertama Perang Aceh melawan
Belanda. Dia menggali kembali patriotisme Aceh. Harian kondang itu
mengakui kapasitas kesultanan Aceh saat berperang melawan Belanda. Perang
menentukan ini, kata Hasan, hanya mungkin dikobarkan karena semua pahlawan Aceh
tahu “bagaimana mati” sebagai manusia terhormat.
Ada dua dokumen penting yang
dia dapat di Markas PBB yang membulatkan tekadnya untuk memisahkan Aceh dari
Indonesia. Dokumen itu berupa Resolusi PBB tentang Hak untuk Menentukan Nasib
Sendiri (Right to Self Determination). Dokumen lainnya, berupa resolusi bahwa
negara kolonial tidak boleh menyerahkan anak jajahannya kepada negara lain.
Ia menilai, Perang Belanda
terhadap Aceh tidak menyebabkan Aceh takluk dan dikuasai sepenuhnya oleh
Belanda. Selain itu, Belanda tak berdasar menyerahkan Aceh–melalui Konferensi
Meja Bundar 1949–kepada Indonesia (Jawa), mengingat Belanda tak berkuasa penuh
atas Aceh, malah lari meninggalkan Aceh, setelah tentara Jepang diundang ulama
masuk Aceh.
Ditambah alasan-alasan
sejarah, etnosentris, dan penguasaan ekonomi oleh Jakarta atas Aceh, membuat
Hasan Tiro punya banyak alasan menyambung perjuangan kakek buyutnya, Tgk Chik
Di Tiro, untuk mempertahankan kedaulatan Aceh. Ia mengimajinasikan sebuah negara/kerajaan
sambungan (succesor state). Untuk itu, Aceh harus mandiri dari Indonesia.
Kamp militer di Libya
Hasan paham, Aceh tak mudah
diarak ke jalan merdeka. Satu-satunya cara adalah mencari pengakuan
internasional, dan berjuang dengan tema hak menentukan nasib sendiri. Hasan
melakukan lobi internasional, dan terus berkampanye tentang “dekolonisasi”
Indonesia. Pada masa 1980-1990an, dia bergandengan dengan gerakan separatis
lain, seperti Timor Timur (Fretilin) dan Republik Maluku Selatan (RMS).
Pada 1980an, ketika
gerakannya dipukul secara militer, Hasan membangun kembali gerakan
bersenjatanya di luar Aceh. Pada 1986, dia memilih Libya sebagai kamp pelatihan
militer. Selama empat tahun kemudian, dia melatih hampir 800 pemuda Aceh. Tak
hanya ketrampilan militer, tapi juga dan ideologi keAcehan. Selama di
Libya, Hasan terlibat intensif dalam gerakan anti-imperialisme. Selama
tahun-tahun itu dia ditunjuk selaku Ketua Komite Politik World Mathabah, satu
organisasi revolusioner berbasis di Tripoli. Wadah itu didirikan pemimpin Libya
Muamar Khadafi, untuk suatu proyek melawan hegemoni Amerika. Dalam bahasa
politik, inilah front menentang imperialisme, rasisme, zionisme dan fasisme.
|
HASAN TIRO BERSAM PASUKANNYA DI KAMP MILITER LIBYA
FOTO | DOK. HASAN TIRO
|
DOM (Daerah Operasi Militer)
Pemerintahan Fasis Orde Baru
segera mengantisipasi gerakan ini. Berbagai aksi militer dilancarkan. Aceh
kemudian di jadikan ladang Daerah Operasi Militer (DOM). Akibatnya tindak
kekerasan/penyiksaan, penangkapan tanpa prosedur, penculikan, pelecehan seksual
dan pemerkosaan, penghilangan nyawa manusia dan praktek-praktek pelanggaran
hukum dan HAM lainnya berlangsung hampir setiap saat.
Pembantaian rakyat
Aceh selama berlangsungnya Operasi Militer sejak 1989 hingga 1998 mencapai
30.000 nyawa. Sungguh malapetaka peradaban yang hanya bisa terjadi dalam
masyarakat primitif. Maka orang yang wajib bertanggungjawab atas
pembantaian-pembantaian tersebut dan segera disidangkan ke masjlis Umum PBB
atas nama penjahat perang adalah Jenderal Soeharto, Jenderal (Purn) L. B.
Moerdani, Jenderal (Purn) Try Sutrisno, Letjen (Purn) Syarwal Hamid, Jenderal
(Purn) Feisal Tanjung, Mayjen (Purn) H. R. Pramono, Letjen Prabowo Subianto,
Ibrahim Hasan (Gubernur Aceh periode 1986-1993).
Pasca jatuhnya pemerintahan
Pembantai Rakyat Soeharto, isu
“Aceh merdeka” kembali menjadi sorotan dunia. pada 25 Januari 1999 Hasan Tiro
menandatangani surat perihal GAM yang dikirim kepada Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Akhir tahun 2002, Hasan Tiro menandatangani
deklarasi berdirinya Negara Aceh Sumatra.
Perdamaian
Pada tahun 2000 status darurat
militer akhirnya diturunkan menjadi darurat sipil. Dan akhirnya Allah
menggenapkan darurat Aceh dengan darurat Tsunami, tepatnya pada tanggal 26
Desember 2004 tsunami telah meluluh lantakkan bumi Serambi Mekkah tersebut. Sekitar
200.000 warga Aceh meninggal dan hilang. Hasan Tiro yang saat itu menonton
tayangan televisi di Norsborg, Swedia, menitikkan air mata. Aceh yang ingin dia
rebut sedang luluh lantak. Terjerembab ke titik nadir peradaban. Perlu kondisi
damai untuk membangun kembali Aceh dari keterpurukan.
Lalu, Zaini Abdullah dan Malik
Mahmud menyahuti tawaran RI untuk berdamai. Kita melihat bagaimana episode
pergolakan ini selesai di meja perundingan di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus
2005. Perdamaian ini pula yang memungkinan Zaini Abdullah dan Malik Mahmud yang
awalnya paling dicari aparat keamanan Indonesia, bisa leluasa pulang ke Aceh.
Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) yang dideklarasikan Teungku Hasan Tiro pada 4 Desember 1976
adalah gagasannya sejak Januari 1965 untuk membentuk Negara Aceh. Baginya,
nilai adat Aceh telah dicampakan oleh kemajuan industri pada masa Soeharto.
Hasan Tiro bersama para ulama Aceh menilai kekayaan alam Aceh dikuras
melalui pembangunan industri yang dikuasai orang asing melalui restu pemerintah
pusat. Tetapi rakyat Aceh tetap miskin, pendidikan rendah dan kondisi ekonomi
sangat memprihatinkan.
Bersama para tokoh eks DI/TII
dan tokoh muda Aceh pada waktu itu mengadakan rapat mendirikan GAM kaki Gunung
Halimun, Pidie. Walaupun Hasan Tiro yang tak hadir dalam pendirian GAM yang
ditunjuk sebagai wali negara. GAM terdiri atas 15 menteri, empat pejabat
setingkat menteri dan enam gubernur.
Sebenarnya sejak 1970-an Hasan Tiro sudah sepakat dengan Daud Beureueh
untuk mendirikan Republik Islam Aceh. Hasan Tiro sendiri sudah hampir
mengirimkan senjata dari AS saat dia masih belajar di sana.
Kontroversi ini sebenarnya
masih mengalir sampai sekarang. Ada yang menganggap, setelah Daud Beureueh
turun gunung, ia tidak pernah lagi terlibat dalam gerakan politik. Perlawanan
yang diusung GAM, sama sekali tidak terkait dengan DI/TII.
“Kalau Hasan Tiro kan menuntut kemerdekaan, sedangkan DI/TII melawan
karena kecewa,” kata M Jasin, mantan Pangdam Iskandar Muda yang dianggap
berhasil mengajak Daud Beureueh turun gunung.
Tak hanya Jasin, tokoh-tokoh
senior di Aceh juga banyak yang mendukung argumen itu. Dalam sebuah tulisannya
di Republika, almarhum Ali Hasjmy, mantan Gubernur Aceh, memutus kaitan GAM dan
Abu Beureueh. Menurutnya, GAM dan Hasan Tiro adalah gerakan kriminal, sedangkan
DI/TII adalah gerakan politik murni.
Tak heran jika awal-awal
perlawanan GAM, Pemerintah Indonesia menuding mereka sebagai gerombolan
pengacau keamanan (GPK). Stigma kriminal dimunculkan untuk memutus dukungan
pengikut Daud Beureueh yang dikenal sebagai legenda bagi warga Aceh.
Nyatanya, upaya membumikan GAM sebagai kelompok kriminal tetap gagal.
Hasan Tiro kadung jadi ikon perlawanan rakyat yang baru, terutama di masa Orde
Baru. Lihat saja daftar tokoh pertama yang bergabung dalam GAM. Banyak di
antara mereka adalah bekas pendukung DI/TII. Sebut saja Teungku Ilyas Leube dan
Daud Husin alias Daud Paneuek (paneuek artinya pendek). Ilyas adalah ulama yang
disegani di Aceh Tengah dan merupakan pendukung setia Daud Beureueh. Dalam
susunan kabinet GAM pertama, Ilyas duduk sebagai Menteri Kehakiman, sedangkan
Daud Paneuek sebagai Panglima Angkatan Bersenjata.
Menurut Baihaqi, mantan
pasukan DI/TII, keputusan Ilyas mendukung GAM semata-amata karena kecewa dengan
sikap pemerintah yang ternyata hanya memberi janji omong kosong kepada Aceh.
“Ilyas orangnya sangat peka terhadap agama. Ketika Syariat Islam tidak berjalan
di Aceh, ia orang yang paling marah” kata Baihaqi yang juga sepupu Ilyas.
Padahal, saat Daud Beureueh turun gunung, pemerintah berjanji memberikan
tiga keistimewaan untuk Aceh: syariat Islam, pendidikan, dan budaya. Nyatanya,
semua janji itu tak dipenuhi. Tak heran, begitu Hasan Tiro mengumandangkan
perlawanan di paruh akhir tahun 1970-an, Ilyas pun menjadi orang pertama yang
mendukung.
Ketika GAM masih dalam bentuk
rancangan, menurut Baihaqi, sebenarnya Daud Beureueh sudah diberi tahu masalah
itu. Hanya saja, Beureueh tak mungkin lagi angkat senjata karena di tahun 1976,
saat Hasan Tiro datang ke Aceh untuk kedua kalinya, Abu Beureueh sudah berusia
77 tahun.
“Ayahanda tidak perlu
berperang. Biar kami saja yang melakukan perlawanan. Kami hanya perlu dukungan
dari Ayahanda,” demikian bujuk Hasan Tiro kepada Daud Beureueh seperti
ditirukan Baihaqi kepada acehkita.
Sebagai asisten pribadi Abu Beureueh, Baihaqi tahu persis dialog itu.
Apalagi, ia masih memiliki hubungan darah dengan Ilyas Leube. “Jadi kalau
dikatakan Daud Beureueh mendukung Hasan Tiro, itu bisa jadi benar,” katanya.
Bedanya, di masa DI/TII, Daud Beurueh mengumumkan perlawanan secara resmi dan
terbuka kepada seluruh masyarakat Aceh, tetapi di masa GAM, ia lebih banyak
diam.
|
PASUKAN ELIT GAM
FOTO | DOK. GAM
|
Hubungan Daud
Beureueh dan Hasan Tiro sebenarnya pernah memburuk. Dalam bukunya, Sejarah dan
Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka, wartawan Neta S Pane menulis, saat pulang ke
Aceh pada 1975, Daud Beureueh pernah memberikan uang sebesar Rp 12,5 juta
kepada Tiro untuk membeli senjata. Singkat cerita, saat muncul lagi pada 1977,
alangkah terkejutnya tokoh-tokoh GAM karena tak mendapatkan apa yang diharap.
“Hasan Tiro hanya membawa tiga pucuk pistol jenis colt dan dua pucuk senjata
double loop. Beberapa tokoh GAM mengejeknya bahwa senjata itu hanya cukup untuk
membunuh babi hutan,” tulis Neta yang kini mengelola Lembaga Pengamat Polri
(Gamatpol).
Meski demikian, Daud Beureueh tak pernah marah kepada Hasan Tiro. Dukungan
Daud Beureueh kepada GAM juga dibenarkan Zakaria, seorang tokoh GAM yang
tinggal di Thailand. Menurutnya, saat Hasan Tiro melakukan pendidikan politik
di hutan, beberapa kali Daud Beuerueh mengirimkan bantuan kepada mereka. “Saya
sering sekali disuruh Daud Beureueh menyampaikan bantuan itu,” akunya.
Bantuan tak hanya berupa uang,
tapi juga bahan makanan untuk Hasan Tiro dan pendukungnya. Dukungan Daud
Beureueh kepada GAM pada masa itu diberikan karena Hasan Tiro bertekad
mendirikan negara Islam di Aceh. Zakaria sendiri termasuk pendukung Hasan Tiro
paling setia. Ketika operasi militer berlangsung pada 1983, ia berhasil
melarikan diri ke Malaysia. Pertemuan terakhir acehkita dengan Zakaria
berlangsung di Thailand, dua tahun lalu.
Dalam barisan GAM, Zakaria yang saat ini berusia sekitar 69 tahun,
menjabat sebagai Menteri Pertahanan yang ditempatkan di Thailand. Dia orang
penting yang berperan sebagai penyedia senjata untuk GAM. Senjata itu dibeli
dari perbatasan Kamboja dan Vietnam, selanjutnya dikirim melalui pesisir pantai
Malaysia menuju pantai Aceh Timur.
Zakaria mengisahkan, untuk
menyampaikan bantuan dari Daud Beureueh kepada Hasan Tiro, ia harus
berhati-hati. Soalnya, sejak 1977, setahun setelah kemerdekaan GAM
diproklamasikan, pemerintah mulai mendatangkan pasukan ke Aceh.
Setelah Hasan Tiro kembali ke Amerika pada 1979, kekuatan GAM tak luntur.
Semakin lama, pengikutnya kian banyak. Intelijen TNI sendiri disebut-sebut
mengetahui kalau Daud Beureueh memberi dukungan moral kepada GAM. Untuk
mencegah meluasnya pengaruh ulama itu, dalam sebuah operasi intelijen yang
dipimpin Lettu Sjafrie Sjamsoeddin (sekarang Sekjen Departemen Pertahanan
berpangkat Mayjen), pada 1 Mei 1978, Daud Beureueh dibawa secara paksa. Ia tak
kuasa melawan karena sudah dibius. Daud Beuereueh dibawa ke Medan selanjutnya
diterbangkan ke Jakarta untuk selanjutnya ditempatkan di sebuah rumah mewah di
bilangan Tomang, Jakarta Barat, sebagai tahanan di sangkar emas.
Ini upaya mengungsikan Daud Beureueh kedua kalinya setelah pada 1971 ia
‘dipaksa’ keliling Eropa untuk mencegah pengaruhnya meluas di Aceh saat
berlangsungnya pemilu. Daud Beureueh sendiri adalah pendukung PPP.
Saat Abu Beuereueh menetap di
Jakarta, operasi penumpasan GAM dilakukan besar-besaran. Satu demi satu
orang-orang dekat Hasan Tiro tewas. Sebut saja Dr Muchtar Hasbi, seorang
intelektual muda Aceh, 35 tahun, yang tewas setelah disiksa. Mayatnya
dikembalikan ke keluarganya dalam keadaan tanpa pakaian. Muchtar Hasbi adalah Perdana
Menteri pertama GAM.
Dr Zubir Mahmud, 29 tahun, yang dalam kabinet GAM menduduki jabatan
sebagai Menteri Sosial, juga tewas ditembak tak jauh dari rumahnya pada Mei
1980. Selain itu, Teungku Haji Ilyas Leube yang menggantikan posisi Muchtar
sebagai Perdana Menteri, juga tewas di ujung peluru pada Juli 1982.
Para sejarawan Aceh menyebut,
Daud Beureueh sebenarnya sangat kecewa dipindahkan ke Jakarta. Selain karena
ruang gerak yang selalu diawasi, ia juga sedih karena dijauhkan dengan
murid-muridnya. Ia menjadi terhalang menyampaikan ajaran-ajaran Islam. Ia pun
tak lagi bisa tampil sebagai imam masjid. Tapi ia sendiri tak kuasa melawan
karena kesehatannya sudah menurun. Ia menetap di Jakarta bersama anak dan
cucunya dengan fasilitas dari pemerintah.
Kegelisahan Teungku Daud itu
dirasakan sahabat dan murid-muridnya. Beberapa orang yang penah dekat
dengannya, antara lain Ali Hasjmy (saat itu sebagai Rektor IAIN Ar-Raniry
setelah pensiun dari Gubernur Aceh) dan Teungku H Abdullah Ujongrimba (Ketua
MUI Aceh), melobi Wakil Presiden Adam Malik agar memulangkan Daud Beureueh ke
Aceh. Mereka menjamin, selama di Aceh, Daud Beureueh tak akan memberikan
perlawanan kepada pemerintah, apalagi ikut mendukung GAM.
Harapan itu terkabul. Pada
1982 ulama simbol perlawanan itu kembali ke Bumi Seulanga. Malangnya, pada
1985, ia terjatuh dari tempat tidur sehingga engsel pinggulnya mengalami
gangguan. Sejak itu ia tidak bisa berdiri. Tamu-tamu yang datang mengunjunginya
tetap disambut secara terbuka. Legenda Aceh itu akhirnya meninggal dunia pada
10 Juni 1987.
Jasadnya dimakamkan di bawah pohon mangga di pekarangan Masjid Baitul A’la
lil Mujahidin di Beureunen. Seluruh Aceh berduka. Sejak itu, tragedi demi
tragedi berkali-kali singgah di bumi Serambi Mekkah. Dua tahun setelah
kepergian sang tokoh, Tanah Rencong bersimbah darah dengan digelarnya Operasi
Jaring Merah atau pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM).
Sepeninggal Daud Beureueh, Hasan Tiro pun menjadi simbol perlawanan baru,
lengkap dengan segala kontroversinya.
Pulang Kampung
Pada 9-10 Oktober 2008 Ratusan
kendaraan yang membawa ribuan warga Aceh yang datang dari berbagai kabupaten
seperti Aceh Timur, Aceh Utara, Bireun, dan Pidie memadati Banda Aceh. Mereka
berkumpul di Kompleks Masjid Raya Baiturrahman Kota Banda Aceh dan rela
menginap di tempat-tempat terbuka seperti pelataran Masjid Raya menyambut
kedatangan Wali Nanggroe yang juga proklamator Gerakan Aceh Merdeka Hasan Tiro.
Antusiasme juga terlihat dari pengurus dan simpatisan Partai Aceh, salah
satu partai lokal yang didirikan mantan aktivis GAM. Ratusan kendaraan yang
lalu lalang di berbagai jalan utama kota Banda Aceh ditempeli berbagai atribut
Partai Aceh.
|
SUJUD SYUKUR
HASAN TIRO SESAAT TIBA DI BANDARA SULTAN ISKANDAR MUDA BANDA ACEH.
FOTO |
SERAMBI INDONESIA
|
Pada 11 Oktober 2008
Pesawat sewaan yang mengangkut mantan pemimpin GAM Hasan Tiro (83) mendarat di
Bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar, NAD.
Kedatangan Hasan Tiro dan rombongan dari Kuala Lumpur, Malaysia, dikawal ketat
oleh satuan tugas yang dibentuk Komite Peralihan Aceh.
Saat turun dari tangga
pesawat, Begitu turun dari pesawat, Hasan Tiro langsung bersujud mendapat
kalungan bunga dari Wakil Gubernur NAD Muhammad Nazar. Dalam rombongan Hasan
Tiro terlihat antara lain Gubernur Irwandi Yusuf dan sejumlah mantan petinggi
GAM, yakni Muzakkir Manaf serta Dr Zaini Abdullah. Hasan Tiro melambaikan
tangan ke arah ratusan orang yang berkumpul di Bandara.
Dari bandara,
rombongan Hasan Tiro langsung menuju Masjid Raya Banda Aceh, pusat berkumpulnya
ratusan ribu warga. Namun, kondisi fisik dan usia Hasan Tiro tak
memungkinkannya berbicara lama secara langsung dengan massa di hadapannya.
Hasan Tiro hanya berpidato secara singkat dalam bahasa Aceh. ”Assalamualaikum,
saya sudah kembali ke Aceh. Allahu Akbar,” ujarnya
Kemudian ia kembali ke Swedia
dan akhirnya kembali menetap di Aceh pada tahun 2010. Masih banyak orang yang
berharap ia kembali menjadi pemimpin sejati masyarakat. Ia lalu dipanggil “Wali
Nanggroe”, penghargaan adat yang tidak pernah diberikan kepada siapapun selain
Hasan Tiro sepanjang sejarah Aceh. Gelar ini diberikan secara “aklamasi” tanpa
sebuah proses apapun. Hampir semua orang Aceh tahu kalau ia adalah Wali
Nanggroe.
Sang Wali Pergi
Pada 3 Juni 2010, Hasan Tiro
kembali terbaring sakit. Jantung, dan komplikasi organ dalam, memaksanya
berdiam di Rumah sakit Zainoel Abidin, Banda Aceh. Tekanan darahnya 70-40.
Seiring dengan dunia yang terus berputar, dan waktu menjawab banyak persoalan. Kamis,
4 Juni 2010, 26 jam setelah pemerintah Indonesia memberikan hak kewarganegaraan
Indonesia kepadanya, Hasan Tiro menghembuskan nafas terkahir di Banda Aceh. Ia
dimakamkan di sisi kuburan kakeknya, Teungku Chik Di Tiro, di Aceh Besar. Di
sana ia mengakhiri semua petualangan dan perjuangan ideologisnya. Pada saat
matahari tegak lurus dengan bumi, pada hari itu, orang-orang Aceh meratap.
Innalillahi Wa Innaillaihi
Rajiun...
Kamis, 3 Juni 2010 sekitar pukul 12.12 Wib, tokoh kharismatik Aceh Tengku
Muhammad Di Tiro berpulang ke pangkuan illahi di RS Zainal Abidin.
Referensi dari
berbagai sumber terpercaya