Cover Sampul Buku "Bidadari Hitam"

MERILIS SEJARAH DOM ACEH "BIDADARI HITAM"


PADA 2007 lalu, terbit sebuah novel berjudul Bidadari Hitam. Novel yang ditulis secara jurnalistik ini mengisahkan masa-masa konflik di Aceh yang tak pernah habisnya. Inong, Ahya, dan Mak Santan adalah orang-orang yang dijadikan tokoh sentral dalam novel. T.I. Thamrin. Penulis novel ini tidak semata-mata merekayasa dalam tulisannya. Beliau begitu piawai meracik kisah-kisah nyata agar dibaca oleh khalayak. Hal-hal yang tak berani ditulis oleh pengarang lain dimasanya.





Pada Bab pertama, kita akan disuguhkan keceriaan anak-anak Lampoh Santan sebelum didatangi beberapa tentara berbaret merah dengan SS1 terkokang sambil melihat ke dalam sebuah Meunasah. Di dalam Meunasah – sebutan lain untuk mesjid dalam habasa Aceh – tampak orang-orang lagi bersembahyang berjama’ah. Seorang komandan regu yang tidak sabar menunggu melepaskan rentetan senjata ke udara, tidak hanya komandan regu itu, seluruh anak buahnya juga serta merta melepaskan tembakan.

Di dalam Meunasah, turun tergesa seseorang yang bernama Tengku Murad. Karena mendengar aba-aba agar yang di dalam turun dari tentara, maka Tengku Murad itu menyuruh semua yang ada dalam Meunasah agar turun dengan tangan di atas. Tapi sial! Karena berbicara dalam bahasa Aceh, sebuah pukulan bersarang telak di wajahnya.

“Asu! Jangan ngomong Aceh! Kalau ngomongin lain, beri isyarat atau aba-aba. Mana aku paham?!” (Hal. 3).

Setelah itu, novel ini akan membawa kita untuk lebih fokus pada satu tokoh. Yaitu Inong. Perempuan ini dipungut oleh suami Mak Santan dari sebuah ladang pembantaian di Pidie belasan tahun lalu ketika Operasi Jaring Merah – sebutan untuk Daerah Operasi Militer (DOM). Ibunya, mati bunuh diri di depan pos tentara yang setiap malam mengambilnya di rumah untuk diperkosa beramai-ramai. 



“Ketika kakekmu mengunjungi rekan dagangnya di sana, ia mendengar tentang nasib nasib Inong. ia kasihan, dan ingat bahwa kamu meminta adik. Ia membawa pulang kamari.” (Hal. 163).

Inong bertambah duka saat mengetahui bahwa rasa sukanya pada Ahya, kakak angkatnya itu, tidak direstui orang oleh Mak Santan dan keluarga lain. Ia pun sadar diri karena telah menumpang tinggal dan hidup di rumah Mak Santan. Dengan segala pertimbangan, malam itu, setelah menjeguk Mak Santan dan Ahya di kamar mereka, Inong memutuskan untuk pergi dari rumah itu. Ia menyelinap dari kebun ke kebun untuk menghidar dari orang yang mengenanlnya. (Hal. 172).

Inong sampai di rumah neneknya di Paya Lhok. Walau neneknya itu enggan menerima kehadiran Inong karena dianggap anak haram, bagi Inong hanya Nek Sada keluarga yang tersisa satu-satunya. Ketika sampai di rumah Aceh itu, Inong menemukan hal yang tak pernah dipikirkannya. Inong mencium bau anyir darah. Meunasah yang kosong, rumah yang di silang warna merah. Lebih tragis, ia melihat neneknya terbaring di lantai berdebu dan masih meneteskan darah yang ke luar dari lubang sebesar jempol kaki di dada kirinya Nek Sada. (Hal, 181).

Inong berteriak meminta tolong, tapi yang datang segerombal aparat. Ia di bawa ke salah satu tempat bernama Rumoh Geudong. Di sana, Inong diperlakukan secara tidak manusiawi oleh tentara. Di perkosa bergiliran. Di Rumoh Geudong ini, Inong bertemu seorang aktivis LSM bernama mawar, ia ditangkap karena dituduh sebagai seorang Inong Balee. Antara bersyukur dan dendam, penderitaan Inong dan tawanan lain berakhir saat Rumoh Geudong di bakar massa. (Hal. 189).


Setelah rumah itu di bakar massa karena kemarahan masyarakat. Inong memilih untuk tinggal dengan salah satu tahanan lain di daerah Ateuk Munjeng. Di rumah ini, Cutwa, seorang janda yang suaminya meninggal disiksa di Rumoh Geudong, khawatir melihat kondisi Inong, Cutwa menceritakan perihal itu pada Geubrina, seorang Mahasiswi Kedokteran Unsyiah. Dengan bantuan Geubrina, ketahuanlah bahwa Inong positif mengidap HIV/AIDS akibat perkosaan yang dialaminya selama berada di Rumoh Geudong yang dilakukan tentara. (Hal. 206).

Takut penyakit yang dideritanya menular, Inong kambali meninggalkan rumah Cutwa. Ia kabur ke Lhoknga dan menyewa salah satu kamar di perumahan penduduk dengan niat akan menyebarkan penyakit yang dideritanya pada tentara yang ada di sana. Laila, Indrajit, dan Joni, adalah orang-orang terakhir yang ia kenal sebelum daerah itu dihempas gelombang tsunami. Dan Inong ada di antara gelombang dahsyat itu. (Hal. 234).




Tidak bisa dikesampingkan bahwa, seorang T.I. Thamrin dengan segala teknik penulisannya membuat kita tak bisa luput dari kata per kata. Jujur, ketika pertama kali saya baca Novel ini, pikiran saya langsung dibawa pada satu tempat terdahulu bahwa di tanah Aceh yang tak pernah berhenti bergolak, darah dan perjuangan adalah atribut yang harus ditela’ah secara lebih mendalam. Kenapa, apa, dan bagaimana membuat sebuah permasalahan cepat reda. Tidak dengan mengandalkan bala tentara.

T.I. Thamrin hanya menceritakan seorang tokoh dalam novelnya, yaitu Inong. Dalam keadaan nyata, Inong di Aceh adalah panggilan untuk perempuan. Dan jika ingin merangkul lebih jauh, Inong dalam pemahaman saya dalam novel ini tidak mengacu pada satu perempuan. Karena banyak sekali perempuan yang menderia semasa DOM diberlakukan di Tanah Rencong.

Maka, dengan adanya novel ini. Patut bagi muda-mudi yang ada di Aceh, dan umumnya di Indonesia agar mau membaca sejarah. Bukan untuk mengenang masa lalu. Atau untuk mengarungi kembali perang yang sudah reda. Namun, kita memang harus tahu sejarah agar nanti bijak bertindak. Perang memang butuh pejuang. Tapi ketika intelektual berbicara, perang hanyalah kata-kata. Buku ini wajib dibaca, agar sejarah tidak lagi ternoda.[]

***
Referensi:

Judul : Bidadari Hitam
Penulis : T.I. Thamrin
Penerbit : Imparsial dan AJMI; 2009
Tebal : vi + 252 hal
Resensor : Pilo Poly
ISBN : 9789799769510


Pilo Poly adalah nama pena dari Saifullah S. Lelaki berdarah Aceh ini sekarang menetap di Bekasi. Puisinya sudah pernah dipublikasikan di media lokal maupun Nasional. Cerpennya termaktub dalam beberapa antologi bersama seperti Cinta Dalam Koper (2011), Jatuh Cinta Pada Palestina (2012), Kembar Tujuh (2011). Buku puisi tunggalnya Yusin dan Tenggelamnya Keadilan akan segera terbit. Pilo bergiat di Cendol (Cerita Nulis Diskusi Online)

(*/ATJEHCYBER)
BAGIAN II


Mantan pimpinan tertinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Dr Tgk Hasan Muhammad Di Tiro hendak berjabat tangan dengan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf di Banda Aceh, Sabtu (17/10). Kepulangan Hasan Tiro yang telah menjadi warga negara Swedia dan tokoh penting lahirnya MoU Helsinki 15 Agustus 2005 itu diharapkan menjadi penguat perdamaian di Provinsi Aceh. 
FOTO | (ANTARA/Irwansyah Putra/ed/ama/09).
BACA JUGA: UNGKAP FAKTA: BEGINI IHWAL IDEOLOGI SEJARAH ACEH VERSI HASAN TIRO | BAGIAN I

Tuah perdamaian Aceh dan hadirnya media teknologi telah memberi peluang kepada kita untuk mengkaji dan mengakses dokumen-dokumen GAM serta buku-buku dan tulisan yang ditulis oleh Tengku Hasan Tiro yang dulu saat konflik sangat dilarang untuk dibaca apalagi memilikinya, hal ini menjadi sumber penting dalam melihat motivasi dan ideologi perlawanan GAM secara objektif sehingga menjadi sintesis atas apa yang selama ini diasumsikan terkait lahirnya perlawanan GAM. 

Fakta-fakta tersebut mulai terkuak saat menginterpretasikan dokumen-dokumen sejarah tentangnya.


Dalam bagian pertama tulisan ini; Konsep Sejarah Aceh Hasan Tiro – Bagian 1 dan dalam artikel Hasan Tiro dan Gugatan Nasionalisme sudah dibahas secara implisit bahwa faktor ideologi menjadi alasan utama Tiro melakukan perlawanan kepada Indonesia. 

Sehingga, thesis dan argumen beberapa penulis tentang sejarah GAM dan Tengku Hasan Tiro yang berontak karena faktor ekonomi dan sosial sebagai faktor utama tidak memiliki sandaran ilmiah yang kuat, jauh dari nilai objektif dan sangat diragukan bahkan bertolak belakang dengan fakta-fakta dan sumber sejarah yang ada. Karena kenyataannya, penafsiran dan pertentangan ideologi dan konsepsi negara (baca: faktor ideologi) di masa awal Indonesia terbentuk menjadi alasan Tiro untuk melawan.


Selaras dengannya, sejarah Aceh pun tidak menjadi alasan utama Tiro untuk bangkit melawan Indonesia. Faktor pertentangan ideologi yang berimbas terhadap kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat Indonesia saat itu (Aceh khususnya) menuntut Tiro untuk menjadikan sejarah – sebagaimana ancaman Tiro pada tahun 1958 – sebagai instrumen politik untuk melawan Indonesia. 

Dalam tulisan ini, saya melompat dan tidak lagi membahas Nasionalisme Melayu yang dibangkitkan Tiro tahun 1961. Karena pola perlawanan yang dilakukan Tiro memiliki banyak persamaan dengan apa yang dilakukannya pada tahun 1954 dan 1961 bahkan sampai pada lahirnya Aceh Merdeka. Hanya saja, dalam Aceh Merdeka instrumen politik yang digunakan begitu beragam (khususnya Sejarah Aceh) menarik untuk dikaji sebagai salah satu konsep perlawanan dalam gerakan kontemporer di Indonesia.


Guna membuktikan konsep sejarah Aceh yang ditulis Tiro sebagai instrumen politik untuk melawan didasari oleh beberapa argumen; pertama, hampir dalam semua tulisannya sejarah Aceh selalu dibenturkan dan dipisahkan dengan sejarah Indonesia, dengan mengajukan beberapa alasan ilmiah Tiro mengkritik teori sejarah Indonesia dan memberi paradigam baru untuk melihatnya sebagai sebuah keragu-raguan hingga akhirnya “nasionalisme Indonesia” menjadi tabu dalam pandangan rakyat Aceh. 

Teori inilah yang membentuk rasa superiority complex masyarakat Aceh pasca perang dengan Belanda, Tiro membangkitkan kembali rasa bangsa teuleubeh melalui kesadaran sejarah, secara bersamaan hal ini menjadi pondasi identitas ke-Acehan yang pernah hilang akibat kolonialisasi Belanda dan konflik antara Aceh dengan Indonesia setelahnya (Tiro:1968).


Jika sebelumnya, banyak tokoh dan sejarawan Aceh menjadikan spirit sejarah untuk membangun kesadaran nasional dalam bingkai Indonesia dan sebagai upaya untuk melawan kembalinya kolonialisme Belanda dan Jepang, maka ditangan Tiro sejarah menjadi lebih tegas tidak lagi sebatas romantic historism tapi sudah berubah menjadi nilai (value), identitas (identity) dan harga diri (dignity) yang bersifat intangible(abstrak). Konstruksi sejarah seperti ini tidak dibangun sebelumnya, baik oleh penulis asing maupun penulis lokal, Aceh dan Indonesia (Afifa: 2013). Gagasan sejarah Aceh yang di konstruksi oleh Tiro telah menjadi anti thesis bagi banyak penulis sejarah yang menggabungkan teori dan fakta sejarah Aceh dengan lahirnya Indonesia. 

Sehingga, dalam pandangan Tiro orang yang menulis dan menggabungkan sejarah Aceh dengan Indonesia pasca kolonialisasi Belanda dianggapnya sebagai lost generation atau generasi yang buta politik dan pemerintahan (Tiro:1968). Teori sejarah Aceh yang dibangunkan Tiro membuka tabir bagi banyak generasi setelahnya untuk melihat kembali teori sejarah secara lebih luas dan dinamis.

Kedua, Tiro menyadari sebagai sebuah gerakan pembebasan, Aceh Merdeka memerlukan pondasi ideologis sehingga nantinya Indonesia tidak punya alasan untuk menjadikannya sebagai gerakan kriminal atau teroris. Hal inilah, yang membuat Tiro menjadikan sejarah Aceh sebagai pijakan ideologi dalam Aceh Merdeka (Tiro: 1984). 

Dalam hal ini, banyak peneliti dan pengkaji sering terjebak dengan berasumsi bahwa Tiro ‘kerasukan’ tugas sejarah atau menganggap Tiro sosok sekuler ataupun ashabiyah

Padahal, Tiro secara eksplisit menjelaskan dalam tulisan-tulisannya, bahwa sejarah Aceh adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari Islam. Secara inheren Islam include dalam sejarah Aceh yang kedaulatannya sedang ia perjuangkan. Pandangan inilah yang menarik beberapa tokoh intelektual Aceh untuk bergabung dengan Aceh Merdeka bersama Tiro, sehingga menjadi bukti bahwa gerakan yang dibangun Tiro bukanlah kumpulan orang-orang kecewa atau para pengangguran. 

Paradigma atau asumsi seperti ini, entah tidak pernah dilirik oleh para pengkaji sejarah Aceh Merdeka dalam setiap proses heuristic nya atau memang mereka dibutakan untuk melihat fakta-fakta ini secara objektif.

Ketiga, sejarah Aceh disamping menjadi martir untuk membentuk identitas dan Nasionalisme Aceh juga dijadikan Tiro sebagai landasan yuridis untuk membenarkan perjuangannya secara Hukum Internasional. Resolusi Majelis Umum PBB yang lahir dalam kurun waktu 1960 sampai tahun 1974 khususnya mengenai kedaulatan dan jajahan (Independence and Colonial) serta Self-Determination memberikan kekuatan kepada Tiro untuk merumuskan lebih spesifik konsep sejarah Aceh sebagai teori untuk memerdekakan Aceh dari Indonesia, salah satu konsepnya adalah; Tiro mengajukan bukti-bukti ilmiah kepada PBB mengenai sejarah kedaulatan Kerajaan Aceh Darussalam serta pertentangannya dengan Belanda. 

Maka, bisa kita saksikan dalam setiap tulisannya Tiro selalu menulis sejarah Aceh Darussalam, karena baginya bukti Aceh Darussalam sebagai sebuah Kerajaan tidak bisa dipertengkarkan (undisputed history) oleh siapapun, berbeda dengan sejarah Samudra Pasai, Pedir, Linge, Isak, Lamuri, Benua atau lainnya yang bisa dipertengkarkan (a disputed history) dan masih memerlukan bukti pendukung lainnya untuk dijadikan sebagai argumen hukum (Tiro:1993).

Asumsi saya, setelah dikeluarkannya Resolusi Majelis Umum PBB itulah, pada tahun 1976 Tiro baru memberitahukan kepada publik internasional tentang perjuangannya melaluiRe-Declaration Aceh Merdeka di Gunong Halimon. Lagi-lagi, Deklarasi Ulang ini adalah instrumen yang diciptakan Tiro untuk melengkapi instrumen utamanya (sejarah Aceh) dalam melawan Indonesia dan membuktikan kepada dunia bahwa Aceh Merdeka adalah sebuah national liberation (Gerakan Pembebasan Nasional) bukan organisasi teroris ataupun separatis, disamping itu Tiro juga menciptakan instrumen lainnya seperti lambang Buraq-Singa, Bendera Bintang Buleun dan pembentukan kabinet. 

Untuk menyelaraskannya, Tiro melakukan deklarasi ulang itu pada 4 Desember sebagai bentuk perjuangan lanjutan dalam menghadapi penjajahan, dikarenakan pada tanggal 3 Desember 1911, Tengku Chik Maat di Tiro sebagai simbol terakhir perlawanan Aceh dengan Belanda syahid dalam peperangan di Alue Bhot, Tangse. 4 Desember menjadi pembenaran perjuangan Aceh Merdeka secara Hukum Internasional. 

Inilah sebabnya, tahun 1976 (setelah semua instrumen dilengkapi) Tiro mendeklarasikan kembali Aceh Merdeka, ini menjadi jawaban kenapa Tiro tidak mendeklarasikannya pada tahun 1960an.

Tengku Hasan di Tiro telah berhasil menjadikan sejarah Aceh tidak hanya sebagai identitas dan harga diri, tapi beliau juga mampu menjadikan sejarah sebagai argumen hukum untuk melakukan perlawanan atas setiap bentuk penjajahan, yang hal ini tidak dimiliki dan mampu dilakukan oleh banyak sejarawan Aceh lainnya. 

Formulasi perlawanan baru yang dibangkitkan oleh Tiro menyadarkan kita bahwa sejarah Aceh bukanlah sekedar cerita usang yang tidak bermakna untuk masa depan, dan bukanlah sebatas kronika yang membosankan untuk dikaji ulang. Sejarah adalah asal-usul, deskripsi siapa dan bagaimana kita sebenarnya yang berdiri hari ini diantara masa lalu dan masa depan, rakyat dan pemerintah memiliki kewajiban yang sama untuk memikul dan merawat setiap bukti sejarah, karena hanya sejarah yang membedakan kita dengan generasi haramjadah. Baginya, sejarah telah menjadi marwah, karena marwah sama harganya dengan darah.


Sumber: AcehTrend
BAGIAN I
DR Tgk. Muhammad Hasan di Tiro, Proklamator GAM
FOTO | Nasional Tempo
ADALAH Ibnu Khaldun yang mengatakan bahwa mereka yang ingin mengkaji sejarah memerlukan ilmu politik, mengetahui karakter-karakter alam, perbedaan bangsa, kawasan, akhlak dan tradisi serta prinsip-prinsip suatu bangsa, agama dan antropologinya. Sehingga seseorang yang bisa menguasai masa sekarang dapat membandingkannya dengan masa lalu, mendapati perbedaan dan persamaannya.

Dengan prinsip itulah seorang sejarawan bisa menilai suatu berita dengan kaidah-kaidah yang sudah dimilikinya yang melahirkan sebuah kebenaran dalam melihat sejarah. Jika tidak demikian, maka ia telah mendustakannya dan meninggalkannya (Khaldun: 2001)
Prinsip-prinsip inilah yang kemudian (pasca tahun 1953) dianut oleh Tengku Hasan Muhammad Tiro dalam melihat sejarah Aceh dan Indonesia sehingga menjadikannya seorang kritikus sejarah Indonesia pada satu sisi dan menjadikannya seorang peletak dasar nasionalisme Aceh disisi yang lain, hingga menjadi kekuatan lahirnya sebuah konsepsi tentang Aceh Merdeka.


Pasca kemerdekaan Indonesia, Tiro menganggap bahwa Aceh dan sejarahnya adalah bagian yang tak terpisahkan dengan Indonesia, menjadikannya bagian dari satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air.

Dengan harapan, Indonesia memiliki “sejarah bersama” yang menjadi kekuatan dalam perumusan konsepsi sejarah Indonesia. Sehingga, “sejarah bersama” itu ditulis oleh para ahli sejarah masing-masing daerah di Indonesia dan bisa dikenal seluas-luasnya sebagai konsep nasionalisme duduk sama rendah tegak sama tinggi bukan sejarah yang sentralistik dan penuh distorsi (Tiro: 1948).


Awalnya, Tiro berharap bahwa Islam dan masyarakatnya yang berjuang habis-habisan mewujudkan kemerdekaan Indonesia bisa dijadikan sebagai sebuah falsafah dan ideologi dasar negara Indonesia, karena cita-cita untuk mendirikan Negara Islam di Indonesia bukanlah suatu hal yang baru, cita-cita itu sama tuanya dengan umur Islam di Indonesia. 

Pandangan Tiro, bahwa perjuangan melawan Belanda yang dilakukan oleh semua pahlawan di Indonesia berdasarkan landasan Islam. Maka, tidak bisa dinafikan cita-cita untuk mendirikan Negara Islam di Indonesia (Tiro: 1947). Inilah yang memotivasi Tiro menterjemahkan buku Assiyasatu Asyar’iyah karangan Guru Besar Fuad I University Cairo, Prof. Abdul Wahab Khallaf dengan judul dalam bahasa Indonesia Dasar-Dasar Negara Islam

Harapannya, menjadi rujukan awal konsepsi politik Islam di Indonesia.
Rentetan dan rangkaian peristiwa yang terjadi di Aceh era 1950-an telah melandasi lahirnya gerakan Darul Islam di Aceh yang menambah kompleksitas masalah Indonesia yang saat itu baru terwujud. Namun, terlepas dari kontroversi dan kepentingan apapun yang melatar-belakangi lahirnya Darul Islam di Aceh, kesamaan cita-cita yakni Islam menjadi satu alasan yang menyebabkan Tiro bergabung dan diangkat menjadi Duta Besar Darul Islam di Amerika. 


Tahun 1954 sebagaimana kita ketahui, Tiro yang sedang bekerja di New York mengirimkan protes kepada Indonesia yang sedang menumpas DI/TII. Jika kita analisa, saat surat protes itu dilayangkan Tiro masih memiliki keinginan untuk tumbuh bersama dengan Indonesia.
Hanya saja, Tiro tidak bisa membenarkan tindakan penumpasan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia mengatas-namakan nasionalisme dan patriotisme. 

Inilah yang kemudian melandasi Tiro merekonstruksi ulang konsepsi negara Indonesia dengan mengkritis secara tajam pandangan politik Soekarno dalam bukunya Demokrasi Untuk Indonesia yang terbit tahun 1958. Dalam buku itu juga, secara implisit Tiro yang sudah mendapat pendidikan hukum dan politik di luar negeri mengancam untuk memisahkan Aceh dari Indonesia, dimana hak self-determination itu sudah dijamin oleh Hukum Internasional, inilah titik awal lahirnya Gerakan Aceh Merdeka.

Pandangan dan rangkaian persepsi inilah yang tidak dilihat dan ditulis oleh kebanyakan penulis dan pengkaji sejarah khususnya terkait lahirnya Gerakan Aceh Merdeka, acap kali mereka memandang latar belakang lahirnya GAM adalah bagian yang berdiri secara terpisah dari proses transformasi pemikiran yang dialami oleh Tiro, lantas berkesimpulan bahwa faktor ekonomi dan kesejahteraan menjadi indikator utama lahirnya perlawanan.

  
Cita-cita dan harapan Islam sebagai pemersatu yang telah lama menjadi mimpi Tiro untuk menjamin kelangsungan hidup bernegara di Indonesia sering luput dalam setiap kajian dan analisa tentangnya. Padahal Islam telah menjadi dasar pemikiran Tiro jauh sebelum DI/TII muncul.

Sebut saja Tim Kell, James T. Siegel, Edward Aspinall dan Kirsten E. Schulze yang tidak adil dalam melakukan analisanya terkait identitas politik yang dibentuk oleh Tiro. 

Monografi yang dikemukakan terkait dengan landasan pergerakan Aceh Merdeka melahirkan pandangan yang subjektif, pendekatan ilmu politik (khususnya politik Internasional), kawasan dan karakter yang menjadi unsur penting dalam kajian sejarah sebagaimana disebutkan Ibnu Khaldun dalam maha karyanya Muqaddimah, tidak digunakan secara objektif.


Sehingga, argumentasinya terlihat tidak utuh dalam mengeksplorasi paradigma dan alasan Tiro selaku subjek-aktor politik serta memisahkan dan memutuskan persepsi yang terjadi di era 40an, Orde Lama dan Orde Baru, seakan Tiro begitu lahir langsung melawan Indonesia dengan romantisme sejarah Aceh yang didambakannya. Ironisnya, banyak pandangan mereka dikutip oleh penulis Indonesia dalam melihat konflik Aceh kontemporer, khususnya Aceh Merdeka.

Padahal, ancaman memisahkan diri dari Indonesia yang dilontarkan Tiro tahun 1958 itulah kemudian di formulasikan oleh Tiro untuk meninjau kembali status Aceh (baca: sejarah) dalam Indonesia. 

Hal inilah yang menjadi dasar lahirnya konsep dan teori sejarah Aceh menurut Tiro, hingga kemudian secara eksplisit menjadi bagian dari instrumen politik dan menjelma menjadi kunci ideologi Aceh Merdeka. Kegagalan DI/TII di pentas internasional mengajarkan Tiro untuk tidak menjadikan Islam secara tegas sebagai aliran politik Aceh Merdeka. Maka dari itu, dokumen Resolusi PBB yang ditemukan Tiro meyakinkannya untuk menjadikan sejarah Aceh sebagai landasan awal perlawanan. 

Konsep sejarah itulah yang kemudian diramu hingga wujud menjadi nasionalisme Melayu dan Aceh.

Tulisan ini hanyalah pembuka untuk melihat konsep sejarah Aceh yang dijadikannya sebagai alat untuk melawan Indonesia, apa dan bagaimana konsep sejarah Aceh tersebut dan bagaimana Tiro menjadikan sejarah tidak hanya sebagai identitas tapi juga sebagai legalitas hingga ideologi Aceh Merdeka bisa diterima sebagian besar rakyat Aceh dan bertahan begitu lama? 

Lalu sampai pada peuneutöh bahwa, soë mantong djipeuteuwo seudjarah meumakna ka djidjak peulamiët droë bak gop.



Sumber: AcehTrend

HASAN TIRO, PENDEKLARASI GAM 1976, BERSAMA PASUKANNYA, TAHUN 1977. 
FOTO | (HASAN TIRO DAN PERGOLAKAN ACEH)

SABTU
, 30 Oktober 1976, sekitar pukul 8.30 pagi. Perahu yang ditumpangi Hasan Tiro dari Malaysia merapat di Pasi Lhok, sebuah desa nelayan di pantai utara Aceh. Dari tempat itu dia melanjutkan perjalanan ke arah timur.

Sekitar pukul 6.00 sore Hasan Tiro tiba di Kuala Tari. Sekelompok laki-laki yang dipimpin M. Daud Husin telah menunggu kehadirannya. Malam itu juga mereka berangkat menuju Gunung Seulimeun.


“Itu adalah malam pertama di tanahairku setelah selama 25 tahun aku tinggal di pengasingan di Amerika Serikat,” tulis Hasan Tiro dalam bukunya The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan Di Tiro yang diterbitkan tahun 1984.

Itu adalah kunjungan rahasia dengan misi tunggal memerdekakan Aceh.

Tak ada seorang pun di negeri ini yang mengetahui kedatanganku,” tulis Hasan Tiro.

“Aku sudah lama memutuskan bahwa Deklarasi Kemerdekaan Aceh Sumatera harus dilakukan pada tanggal 4 Desember dengan alasan simbolis dan historis. Itu adalah hari dimana Belanda menembak dan membunuh Kepala Negara Aceh Sumatera, Tengku Cik Mat di Tiro dalam pertempuran di Alue Bhot, tanggal 3 Desember 1911. Belanda karenanya mencatat bahwa 4 Desember 1911 adalah hari akhir Aceh sebagai entitas yang berdaulat, dan hari kemenangan Belanda atas Kerajaan Aceh Sumatera.”

Maka begitulah, di Bukit Cokan dia menuliskan Deklarasi Kemerdekaan Aceh, melanjutkan perjuangan Tengku Cik di Tiro dan para leluhurnya. Dan tanggal 4 Desember 1976 deklarasi kemerdekaan itu pun dibacakan.


“Kami, rakyat Aceh, Sumatera, menggunakan hak kami untuk menentukan nasib sendiri dan melindungi hak sejarah kami akan tanahair kami, dengan ini menyatakan bahwa kami merdeka dan independen dari kontrol politik rejim asing Jakarta dan orang asing dari Pulau Jawa. Tanah Air kami, Aceh, Sumatra, selalu merdeka dan independen sebagai Negara yang Berdaulat sejak dunia diciptakan…”


Catatan: Teks di atas merupakan paragraph pertama dari Deklarasi Kemerdekaan Aceh yang saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dari buku The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan Di Tiro. Teks asli adalah sebagai berikut:


“We, the people of Acheh, Sumatra, exercising our right of self-determination, and protecting our historic right of eminent domain to our fatherland, do hereby declare ourselves free and independent from all political control of the foreign regime of Jakarta and the alien people of the island of Java. Our fatherland, Acheh, Sumatra, had always been a free and independent Sovereign State since the world begun…


Anak kedua pasangan Tengku Muhammad Hasan dan Pocut Fatimah ini lahir di Tiro 25 September 1925. Dia memperoleh gelar doktor di bidang hukum internasional dari Colombia University. Di negeri itu ia menikah dengan Dora seorang wanita Amerika Serikat keturunan Yahudi. Di masa-masa itu pula Hasan Tiro pernah bekerja di KBRI dan membangun jaringan bisnis di bidang petrokimia, pengapalan, penerbangan, dan manufaktur hingga ke Eropa dan Afrika. Hasan Tiro juga menjelaskan hal ini dalam bukunya The Price of Freedom.


Pandangan politiknya mulai berbalik 180 derajat ketika pemerintah Indonesia di masa Perdana Menteri Ali Sastroamidjo (1953-1955) mengejar pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) hingga ke pedalaman Aceh. Hasan Tiro memprotes tindakan itu. Bulan September 1954 dia mengirimkan sepucuk surat kepada sang perdana menteri Kecewa dengan sikap pemerintah Indonesia, Hasan Tiro kemudian meninggalkan KBRI. 


Dia bergabung dengan DI/TII Aceh yang dideklarasikan mantan Gubernur Militer Aceh (1948-1951) Daud Beureuh tanggal 20 September 1953 sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) yang dideklrasikan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah, Tasikmalaya, 7 Agustus 1949. Di DI/TII Aceh Hasan Tiro menjabat sebagai menteri luar negeri, dan karena jaringannya yang dianggap luas di Amerika Serikat dia pun mendapat tugas tambahan sebagai “dutabesar” di PBB.


Setidaknya ada beberapa sebab praktis yang ikut mendorong pemberontakan DI/TII yang secara bersamaan terjadi di tiga propinsi, Aceh, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Pertama berkaitan dengan rasionalisasi tentara. Banyak tentara dan laskar rakyat yang ikut berjuang dalam perang revolusi tidak dapat diakomodasi sebagai tentara reguler. Kedua, pemberontakan ini juga merupakan ekspresi kekecewaan terhadap hubungan pemerintahan Sukarno yang ketika itu semakin dekat dengan kubu komunis.

Pada tahun 1961 Daud Beureuh mengubah Aceh menjadi Republik Islam Aceh (RIA). Tetapi di saat bersamaan, gerakannya mulai melemah setelah SM Kartosoewirjo dilumpuhkah. Adapun Kahar Muzakar dinyatakan tewas dalam sebuah pertempuran di belantara Sulawesi tahun 1965.

Adalah Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M. Jassin, yang berhasil meyakinkan Daud Beureuh untuk kembali bergabung dengan Republik Indonesia. Tanggal 9 Mei 1962 Daud Beureuh ditemani antara lain komandan pasukannya yang setia, Tengku Ilyas Leube, pun turun gunung. Bulan Desember perdamaian dirumuskan dalam Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh.


setelah pemberontakan DI/TII melemah, Hasan Tiro ikut melunak. Pertengahan 1974 dia kembali ke Aceh. Dalam pertemuan dengan gubernur Aceh saat itu, Muzakir Walad, Hasan Tiro meminta agar perusahaannya bisa menjadi kontraktor pembangunan tambang gas di Arun.


Tapi Muzakkir Walad tak dapat memenuhi permintaan ini. Bechtel Inc., sebuah perusahaan dari California, Amerika Serikat, telah ditunjuk pemerintahan Orde Baru Soeharto sebagai kontraktor pembangunan pabrik gas Arun.

Beberapa saat sebelum Hasan Tiro kembali ke Aceh bulan Oktober 1976. Caption foto tertulis sebagai berikut:

From right: Secretary General of the United Nations, Dr. Kurt Waldheim; Ambassador of France; H. H. Tengku Hasan di Tiro, President of Doral International Ltd. and Chairman of Atjeh Institute in America; Philippine Ambassador for the U.N. On the occasion of the signing of International Tin Agreement, 1976, at the United Nations Headquarters in New York. Photo by Gamma Diffusion, Paris.

Hasan Tiro kembali kecewa. Baginya, ini adalah bukti bahwa janji otonomi daerah dan hak daerah mengelola sumber alam hanya bohong belaka.


Kekecewaannya pun semakin bertambah setelah syariat Islam yang dibicarakan dalam konsep “Prinsipil Bijaksana” antara Daud Beureuh dan pemerintah pusat tak kunjung dilaksanakan.

Hasan Tiro kembali menggalang kekuatan, mengambil alih posisi puncak dari tangan Daud Beureuh yang saat itu sudah turun dari panggung politik Aceh. Dia menghubungi tokoh penting mantan anggota DI/TII seperti Teungku Ilyas Leube, yang dikenal sebagai salah satu pengikut setia Daud Beureueh. Juga Daud Paneuk. Tak lama manuver Hasan Tiro tercium oleh tentara. Operasi militer disiapkan untuk menangkapnya. Tetapi Tiro berhasil melarikan diri, pulang ke Amerika Serikat.


Sebelum meninggalkan Aceh dia berjanji akan kembali datang untuk menyusun kekuatan yang jauh lebih besar. Dan begitulah, akhirnya kaki Hasan Tiro kembali menginjak Aceh di pagi hari, 30 Oktober 1976


Perjalanan Hidup


Hasan Tiro adalahAnak kedua pasangan Tengku Muhammad Hasan dan Pocut Fatimah ini lahir di Tiro 25 September 1925.


Hasan Tiro awalnya adalah seorang yang sangat nasionalis. Jauh sebelum mengobarkan perang total dengan Indonesia. Karena jenius, Hasan Tiro direkomendasikan Teungku Daud Beureueh kepada Perdana Menteri Indonesia waktu itu, Syafruddin Prawiranegara, untuk kuliah di UII. Hasan Tiro diterima di Fakultas Hukum dan tamat tahun 1949


Di universitas ini namanya tercatat sebagai pendiri Pustaka UII bersama Kahar Muzakkar, tokoh Sulawesi Selatan yang kelak menggerakkan pemberontakan DI/TII bersama Daud Beureueh dan Imam Kartosuwiryo (1953-1962).

BACA JUGA: KEIKHLASAN HATI HASAN TIRO, RELA MENGEMBARA DEMI RAKYAT ACEH

Lulus dari UII, ia kemudian mendapat beasiswa dari pemerintah Indoensia untuk melanjutkan pendidikanya ke Amerika Serikat. Ia mengambil jurusan Ilmu Hukum International di Universitas Columbia. Setelah menyelesaikan program doktor ia masih sempat bekerja di KBRI di Amerika.


Pada tahun 1953, Aceh diguncang pemberontakan Darul Islam, yang dipimpin langsung oleh Teungku Daud Beureueh, Aceh melawan Jakarta, karena Soekarno dianggap ingkar janji


Dan Pandangan politiknya mulai berbalik 180 derajat ketika pemerintah Indonesia di masa Perdana Menteri Ali Sastroamidjo (1953-1955) mengejar pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) hingga ke pedalaman Aceh. Menurut salah satu surat kabar di New York bahwa sekitar 92 warga sipil di Pulot, Cot Jeumpa Leupung, Aceh Besar, dibantai serdadu republik pada 26 Februari 1954. Ini ekses akibat ditembaknya belasan prajurit Indonesia oleh mujahidin DI/TII Aceh dua pekan sebelumnya. Karena para mujahid sudah menghilang dari kawasan itu, maka warga sipillah yang dijejerkan di pinggir laut, lalu ditembak mati. Hanya satu yang tersisa hidup. 

Ia pula yang membeberkan pembantaian sadis itu kepada Acha, wartawan Harian Peristiwa. Asahi Simbun, Washington Post, dan New York Times ikut melansir berita tersebut.


Dari kota “melting pot” New York, spontan ia layangkan surat pada 1 September 1954 kepada Perdana Menteri Indonesia Ali Sastroamidjojo. Ia desak Indonesia untuk segera minta maaf dan mengakui bahwa pembantaian warga sipil tersebut merupakan genosida (pembantaian etnis Aceh). Para pelaku dimintanya agar dihukum berat.


Menurut Hasan Tiro persoalan yang dihadapi Indonesia sesungguhnya bukan tidak bisa dipecahkan, tetapi Ali Sastroamidjojolah yang mencoba membuatnya menjadi sukar. Menurutnya jika Ali Sastroamidjojo mengambil keputusan untuk menyelesaikan pertikaian politik tersebut dengan jalan semestinya, yakni perundingan, maka keamanan dan ketentraman akan meliputi seluruh tanah air Indonesia pada saat itu.

Oleh karena itu, demi kepentingan rakyat Indonesia Hasan Tiro menganjurkan Ali Sastroamidjojo mengambil tindakan: Pertama, Hentikan agresi terhadap rakyat Aceh, rakyat Jawa Barat, Jawa Tengah, rakyat Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan rakyat Kalimantan. Kedua, Lepaskan semua tawanan-tawanan politik dari Aceh, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan rakyat Kalimantan. Ketiga, Berunding dengan Teungku Muhammad Daud Beureuh, S.M. Kartosuwirjo, Abdul Kahar Muzakar, dan Ibnu Hajar. 

Jika sampai pada tanggal 20 September 1954, anjuran-anjuran ke arah penghentian pertumpahan darah ini tidak mendapat perhatian Ali Sastroamidjojo, maka untuk menolong miliunan jiwa rakyat yang tidak berdosa yang akan menjadi korban keganasan agresi yang Ali Sastroamidjojo kobarkan, Maka Hasan Tiro dan putera-puteri Indonesia yang setia, akan mengambil tindakan-tindakan berikut:

Pertama, Kami akan membuka dengan resmi perwakilan diplomatik bagi Republik Islam Indonesia di seluruh dunia, termasuk di PBB, benua Amerika, Asia dan seluruh negara-negara Islam.


Kedua, Kami akan memajukan kepada General Assembly PBB yang akan datang segala atas kekejaman, pembunuhan, penganiayaan, dan lain-lain pelanggaran terhadap Human Right yang telah dilakukan oleh regime Komunis–Fasis Ali Sastroamidjojo terhadap rakyat Aceh. Biarlah forum Internasional mendengarkan perbuatan-perbuatan maha kejam yang pernah dilakukan di dunia sejak zamannya Hulagu dan Jenghis Khan. Kami akan meminta PBB mengirimkan komite ke Aceh. Biar rakyat Aceh menjadi saksi.


Ketiga, Kami akan menuntut regime Ali Sastroamidjojo di muka PBB atas kejahatan genoside yang sedang Ali Sastroamidjojo lakukan terhadap suku bangsa Aceh.


Keempat, Kami akan membawa ke hadapan mata seluruh dunia Islam, kekejaman-kekejaman yang telah dilakukan regime Ali Sastroamidjojo terhadap para alim ulama di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Tengah dan sebagian Kalimantan.


Kelima, Kami akan mengusahakan pengakuan dunia Internasional terhadap Republik Islam Indonesia, yang sekarang de facto menguasai Aceh sebagian Jawa Barat dan Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Tengah dan sebagian Kalimantan.


Keenam, Kami akan mengusahakan pembaikotan diplomasi dan ekonomi internasional terhadap regime Ali Sastroamidjojo dan penghentian bantuan teknik dan ekonomi PBB, Amerika Serikat dan “Colombo Plan”.


Ketujuh, Kami akan mengusahakan bantuan moral dan materi buat Republik Islam Indonesia dalam perjuangannya menghapus regime teroris Ali Sastroamidjojo dari Indonesia.

Setelah lewat 20 September 1954 anjuran-anjuran Hasan Tiro tidak diindahkan. Ali Sastroamidjojo kemudian mengirimkan delegasinya ke PBB untuk membuat serangkaian fitnah-fitnah keji kepada Hasan Tiro, diantaranya menyatakan bahwa Hasan Tiro mendapat sokongan dari golongan bukan Indonesia dan ancaman bahwa setiap campur tangan untuk membantu gerombolan Darul Islam akan ditolak dan pada hakekatnya merupakan perbuatan yang tidak bersahabat terhadap Republik Indonesia. Hasan Tiro berjuang keras di New York untuk memasukkan persoalan DI/TII ke dalam forum PBB dengan tujuan supaya kepada rakyat Aceh terutama diberi hak menentukan nasib sendiri (self determination). Akan tetapi usaha mulianya ini menemukan kegagalan.


Selain itu Pemerintah mencabut Paspor diplomatik Hasan Tiro supaya Hasan Tiro diusir dari Amerika akibatnya 27 September 1954 Hasan Tiro ditahan oleh Jawatan Imigrasi New York. Tetapi karena bantuan beberapa orang senator, Hasan Tiro diterima sebagai penduduk tetap di Amerika Serikat. Sejak itu kita tahu dia menjadi pengkritik keras Soekarno.


Pada 1958, Hasan menulis buku penting di New York berjudul Demokrasi untuk Indonesia. Dia mengusulkan negara federal untuk Indonesia, melawan konsep negara persatuan versi Soekarno. Dia mengkritik pedas sistem negara kesatuan, yang menguntungkan etnis besar Jawa, dan cuma mendukung apa yang disebutnya“demokrasi primitive”. Baginya, Indonesia terlalu luas untuk diatur secara sentralistik dari Jakarta. Pada tahun 1958, Hasan Tiro menuangkan pemikiran dalam buku berjudul “Demokrasi untuk Indonesia”. Di situ ia tawarkan federasi sebagai bentuk Pemerintah Indonesia, tujuannya agar hubungan daerah dan pusat tidak timpang.


Hasan lalu melompat ke ide yang lebih radikal, dia menggeser pemikirannya ke nasionalisme Aceh. Pada 1965, pamfletnya “Masa Depan Politik Dunia Melayu” menolak ide Republik Indonesia.  Kata Hasan, Indonesia tak lain dari proyek “kolonialisme Jawa”, dan warisan tak sah perang kolonial Belanda. Dengan kata lain, dia menyangkal penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia pada 1949. Baginya, hak merdeka harus dikembalikan kepada bangsa-bangsa seperti Aceh atau Sunda, yang sudah berdaulat sebelum Indonesia lahir.

TGK HASAN TIRO DIANGKAT PRAJURIT GAM DI BELANTARA HUTAN ACEH. 
FOTO | DIKUTIP DARI BUKU THE PRICE OF FREEDOM: THE UNFINISHED DIARY OF TEUNGKU HASAN DI TIRO
Sejak itu dia menjelajahi sejarah, menulis sekian pamflet tentang nasionalisme Aceh. Pada karyanya yang lain,  “Atjeh Bak Mata Donja”(Aceh di Mata Dunia) ditulis dalam bahasa Aceh pada 1968, dia menguraikan problem absennya kesadaran historis dan politis rakyat Aceh setelah Perang Belanda. Dia mulai merekonstruksi sejarah Aceh, dan menegasi segala upaya integrasi dengan republik.

Hasan mengkaji lima editorial The New York Times sepanjang April–Juli 1873, fase pertama Perang Aceh melawan Belanda.  Dia menggali kembali patriotisme Aceh. Harian kondang itu mengakui kapasitas kesultanan Aceh saat berperang melawan Belanda. Perang menentukan ini, kata Hasan, hanya mungkin dikobarkan karena semua pahlawan Aceh tahu “bagaimana mati” sebagai manusia terhormat.



Ada dua dokumen penting yang dia dapat di Markas PBB yang membulatkan tekadnya untuk memisahkan Aceh dari Indonesia. Dokumen itu berupa Resolusi PBB tentang Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri (Right to Self Determination). Dokumen lainnya, berupa resolusi bahwa negara kolonial tidak boleh menyerahkan anak jajahannya kepada negara lain.


Ia menilai, Perang Belanda terhadap Aceh tidak menyebabkan Aceh takluk dan dikuasai sepenuhnya oleh Belanda. Selain itu, Belanda tak berdasar menyerahkan Aceh–melalui Konferensi Meja Bundar 1949–kepada Indonesia (Jawa), mengingat Belanda tak berkuasa penuh atas Aceh, malah lari meninggalkan Aceh, setelah tentara Jepang diundang ulama masuk Aceh.


Ditambah alasan-alasan sejarah, etnosentris, dan penguasaan ekonomi oleh Jakarta atas Aceh, membuat Hasan Tiro punya banyak alasan menyambung perjuangan kakek buyutnya, Tgk Chik Di Tiro, untuk mempertahankan kedaulatan Aceh. Ia mengimajinasikan sebuah negara/kerajaan sambungan (succesor state). Untuk itu, Aceh harus mandiri dari Indonesia.


Kamp militer di Libya


Hasan paham, Aceh tak mudah diarak ke jalan merdeka. Satu-satunya cara adalah mencari pengakuan internasional, dan berjuang dengan tema hak menentukan nasib sendiri. Hasan melakukan lobi internasional, dan terus berkampanye tentang “dekolonisasi” Indonesia. Pada masa 1980-1990an, dia bergandengan dengan gerakan separatis lain, seperti Timor Timur (Fretilin) dan Republik Maluku Selatan (RMS).


Pada 1980an, ketika gerakannya dipukul secara militer, Hasan membangun kembali gerakan bersenjatanya di luar Aceh. Pada 1986, dia memilih Libya sebagai kamp pelatihan militer. Selama empat tahun kemudian, dia melatih hampir 800 pemuda Aceh. Tak hanya ketrampilan militer, tapi juga dan ideologi keAcehan.  Selama di Libya, Hasan terlibat intensif dalam gerakan anti-imperialisme. Selama tahun-tahun itu dia ditunjuk selaku Ketua Komite Politik World Mathabah, satu organisasi revolusioner berbasis di Tripoli. Wadah itu didirikan pemimpin Libya Muamar Khadafi,  untuk suatu proyek melawan hegemoni Amerika. Dalam bahasa politik, inilah front menentang imperialisme, rasisme, zionisme dan fasisme.

HASAN TIRO BERSAM PASUKANNYA DI KAMP MILITER LIBYA
FOTO | DOK. HASAN TIRO
DOM (Daerah Operasi Militer)

Pemerintahan Fasis Orde Baru segera mengantisipasi gerakan ini. Berbagai aksi militer dilancarkan. Aceh kemudian di jadikan ladang Daerah Operasi Militer (DOM). Akibatnya tindak kekerasan/penyiksaan, penangkapan tanpa prosedur, penculikan, pelecehan seksual dan pemerkosaan, penghilangan nyawa manusia dan praktek-praktek pelanggaran hukum dan HAM lainnya berlangsung hampir setiap saat.


Pembantaian rakyat Aceh selama berlangsungnya Operasi Militer sejak 1989 hingga 1998 mencapai 30.000 nyawa. Sungguh malapetaka peradaban yang hanya bisa terjadi dalam masyarakat primitif. Maka orang yang wajib bertanggungjawab atas pembantaian-pembantaian tersebut dan segera disidangkan ke masjlis Umum PBB atas nama penjahat perang adalah Jenderal Soeharto, Jenderal (Purn) L. B. Moerdani, Jenderal (Purn) Try Sutrisno, Letjen (Purn) Syarwal Hamid, Jenderal (Purn) Feisal Tanjung, Mayjen (Purn) H. R. Pramono, Letjen Prabowo Subianto, Ibrahim Hasan (Gubernur Aceh periode 1986-1993).

Pasca jatuhnya pemerintahan


Pembantai Rakyat Soeharto, isu “Aceh merdeka” kembali menjadi sorotan dunia. pada 25 Januari 1999 Hasan Tiro menandatangani surat perihal GAM yang dikirim kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Akhir tahun 2002, Hasan Tiro menandatangani deklarasi berdirinya Negara Aceh Sumatra.


Perdamaian


Pada tahun 2000 status darurat militer akhirnya diturunkan menjadi darurat sipil. Dan akhirnya Allah menggenapkan darurat Aceh dengan darurat Tsunami, tepatnya pada tanggal 26 Desember 2004 tsunami telah meluluh lantakkan bumi Serambi Mekkah tersebut. Sekitar 200.000 warga Aceh meninggal dan hilang. Hasan Tiro yang saat itu menonton tayangan televisi di Norsborg, Swedia, menitikkan air mata. Aceh yang ingin dia rebut sedang luluh lantak. Terjerembab ke titik nadir peradaban. Perlu kondisi damai untuk membangun kembali Aceh dari keterpurukan.


Lalu, Zaini Abdullah dan Malik Mahmud menyahuti tawaran RI untuk berdamai. Kita melihat bagaimana episode pergolakan ini selesai di meja perundingan di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005. Perdamaian ini pula yang memungkinan Zaini Abdullah dan Malik Mahmud yang awalnya paling dicari aparat keamanan Indonesia, bisa leluasa pulang ke Aceh.

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dideklarasikan Teungku Hasan Tiro pada 4 Desember 1976 adalah gagasannya sejak Januari 1965 untuk membentuk Negara Aceh. Baginya, nilai adat Aceh telah dicampakan oleh kemajuan industri pada masa Soeharto.
Hasan Tiro bersama para ulama Aceh menilai kekayaan alam Aceh dikuras melalui pembangunan industri yang dikuasai orang asing melalui restu pemerintah pusat. Tetapi rakyat Aceh tetap miskin, pendidikan rendah dan kondisi ekonomi sangat memprihatinkan.

Bersama para tokoh eks DI/TII dan tokoh muda Aceh pada waktu itu mengadakan rapat mendirikan GAM kaki Gunung Halimun, Pidie. Walaupun Hasan Tiro yang tak hadir dalam pendirian GAM yang ditunjuk sebagai wali negara. GAM terdiri atas 15 menteri, empat pejabat setingkat menteri dan enam gubernur.

Sebenarnya sejak 1970-an Hasan Tiro sudah sepakat dengan Daud Beureueh untuk mendirikan Republik Islam Aceh. Hasan Tiro sendiri sudah hampir mengirimkan senjata dari AS saat dia masih belajar di sana.

Kontroversi ini sebenarnya masih mengalir sampai sekarang. Ada yang menganggap, setelah Daud Beureueh turun gunung, ia tidak pernah lagi terlibat dalam gerakan politik. Perlawanan yang diusung GAM, sama sekali tidak terkait dengan DI/TII.

“Kalau Hasan Tiro kan menuntut kemerdekaan, sedangkan DI/TII melawan karena kecewa,” kata M Jasin, mantan Pangdam Iskandar Muda yang dianggap berhasil mengajak Daud Beureueh turun gunung.

Tak hanya Jasin, tokoh-tokoh senior di Aceh juga banyak yang mendukung argumen itu. Dalam sebuah tulisannya di Republika, almarhum Ali Hasjmy, mantan Gubernur Aceh, memutus kaitan GAM dan Abu Beureueh. Menurutnya, GAM dan Hasan Tiro adalah gerakan kriminal, sedangkan DI/TII adalah gerakan politik murni.


Tak heran jika awal-awal perlawanan GAM, Pemerintah Indonesia menuding mereka sebagai gerombolan pengacau keamanan (GPK). Stigma kriminal dimunculkan untuk memutus dukungan pengikut Daud Beureueh yang dikenal sebagai legenda bagi warga Aceh.

Nyatanya, upaya membumikan GAM sebagai kelompok kriminal tetap gagal. Hasan Tiro kadung jadi ikon perlawanan rakyat yang baru, terutama di masa Orde Baru. Lihat saja daftar tokoh pertama yang bergabung dalam GAM. Banyak di antara mereka adalah bekas pendukung DI/TII. Sebut saja Teungku Ilyas Leube dan Daud Husin alias Daud Paneuek (paneuek artinya pendek). Ilyas adalah ulama yang disegani di Aceh Tengah dan merupakan pendukung setia Daud Beureueh. Dalam susunan kabinet GAM pertama, Ilyas duduk sebagai Menteri Kehakiman, sedangkan Daud Paneuek sebagai Panglima Angkatan Bersenjata.

Menurut Baihaqi, mantan pasukan DI/TII, keputusan Ilyas mendukung GAM semata-amata karena kecewa dengan sikap pemerintah yang ternyata hanya memberi janji omong kosong kepada Aceh. “Ilyas orangnya sangat peka terhadap agama. Ketika Syariat Islam tidak berjalan di Aceh, ia orang yang paling marah” kata Baihaqi yang juga sepupu Ilyas.

Padahal, saat Daud Beureueh turun gunung, pemerintah berjanji memberikan tiga keistimewaan untuk Aceh: syariat Islam, pendidikan, dan budaya. Nyatanya, semua janji itu tak dipenuhi. Tak heran, begitu Hasan Tiro mengumandangkan perlawanan di paruh akhir tahun 1970-an, Ilyas pun menjadi orang pertama yang mendukung.

Ketika GAM masih dalam bentuk rancangan, menurut Baihaqi, sebenarnya Daud Beureueh sudah diberi tahu masalah itu. Hanya saja, Beureueh tak mungkin lagi angkat senjata karena di tahun 1976, saat Hasan Tiro datang ke Aceh untuk kedua kalinya, Abu Beureueh sudah berusia 77 tahun.


“Ayahanda tidak perlu berperang. Biar kami saja yang melakukan perlawanan. Kami hanya perlu dukungan dari Ayahanda,” demikian bujuk Hasan Tiro kepada Daud Beureueh seperti ditirukan Baihaqi kepada acehkita.

Sebagai asisten pribadi Abu Beureueh, Baihaqi tahu persis dialog itu. Apalagi, ia masih memiliki hubungan darah dengan Ilyas Leube. “Jadi kalau dikatakan Daud Beureueh mendukung Hasan Tiro, itu bisa jadi benar,” katanya. Bedanya, di masa DI/TII, Daud Beurueh mengumumkan perlawanan secara resmi dan terbuka kepada seluruh masyarakat Aceh, tetapi di masa GAM, ia lebih banyak diam.

PASUKAN ELIT GAM
FOTO | DOK. GAM
Hubungan Daud Beureueh dan Hasan Tiro sebenarnya pernah memburuk. Dalam bukunya, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka, wartawan Neta S Pane menulis, saat pulang ke Aceh pada 1975, Daud Beureueh pernah memberikan uang sebesar Rp 12,5 juta kepada Tiro untuk membeli senjata. Singkat cerita, saat muncul lagi pada 1977, alangkah terkejutnya tokoh-tokoh GAM karena tak mendapatkan apa yang diharap. “Hasan Tiro hanya membawa tiga pucuk pistol jenis colt dan dua pucuk senjata double loop. Beberapa tokoh GAM mengejeknya bahwa senjata itu hanya cukup untuk membunuh babi hutan,” tulis Neta yang kini mengelola Lembaga Pengamat Polri (Gamatpol).

Meski demikian, Daud Beureueh tak pernah marah kepada Hasan Tiro. Dukungan Daud Beureueh kepada GAM juga dibenarkan Zakaria, seorang tokoh GAM yang tinggal di Thailand. Menurutnya, saat Hasan Tiro melakukan pendidikan politik di hutan, beberapa kali Daud Beuerueh mengirimkan bantuan kepada mereka. “Saya sering sekali disuruh Daud Beureueh menyampaikan bantuan itu,” akunya.

Bantuan tak hanya berupa uang, tapi juga bahan makanan untuk Hasan Tiro dan pendukungnya. Dukungan Daud Beureueh kepada GAM pada masa itu diberikan karena Hasan Tiro bertekad mendirikan negara Islam di Aceh. Zakaria sendiri termasuk pendukung Hasan Tiro paling setia. Ketika operasi militer berlangsung pada 1983, ia berhasil melarikan diri ke Malaysia. Pertemuan terakhir acehkita dengan Zakaria berlangsung di Thailand, dua tahun lalu.

Dalam barisan GAM, Zakaria yang saat ini berusia sekitar 69 tahun, menjabat sebagai Menteri Pertahanan yang ditempatkan di Thailand. Dia orang penting yang berperan sebagai penyedia senjata untuk GAM. Senjata itu dibeli dari perbatasan Kamboja dan Vietnam, selanjutnya dikirim melalui pesisir pantai Malaysia menuju pantai Aceh Timur.

Zakaria mengisahkan, untuk menyampaikan bantuan dari Daud Beureueh kepada Hasan Tiro, ia harus berhati-hati. Soalnya, sejak 1977, setahun setelah kemerdekaan GAM diproklamasikan, pemerintah mulai mendatangkan pasukan ke Aceh.

Setelah Hasan Tiro kembali ke Amerika pada 1979, kekuatan GAM tak luntur. Semakin lama, pengikutnya kian banyak. Intelijen TNI sendiri disebut-sebut mengetahui kalau Daud Beureueh memberi dukungan moral kepada GAM. Untuk mencegah meluasnya pengaruh ulama itu, dalam sebuah operasi intelijen yang dipimpin Lettu Sjafrie Sjamsoeddin (sekarang Sekjen Departemen Pertahanan berpangkat Mayjen), pada 1 Mei 1978, Daud Beureueh dibawa secara paksa. Ia tak kuasa melawan karena sudah dibius. Daud Beuereueh dibawa ke Medan selanjutnya diterbangkan ke Jakarta untuk selanjutnya ditempatkan di sebuah rumah mewah di bilangan Tomang, Jakarta Barat, sebagai tahanan di sangkar emas.

Ini upaya mengungsikan Daud Beureueh kedua kalinya setelah pada 1971 ia ‘dipaksa’ keliling Eropa untuk mencegah pengaruhnya meluas di Aceh saat berlangsungnya pemilu. Daud Beureueh sendiri adalah pendukung PPP.

Saat Abu Beuereueh menetap di Jakarta, operasi penumpasan GAM dilakukan besar-besaran. Satu demi satu orang-orang dekat Hasan Tiro tewas. Sebut saja Dr Muchtar Hasbi, seorang intelektual muda Aceh, 35 tahun, yang tewas setelah disiksa. Mayatnya dikembalikan ke keluarganya dalam keadaan tanpa pakaian. Muchtar Hasbi adalah Perdana Menteri pertama GAM.

Dr Zubir Mahmud, 29 tahun, yang dalam kabinet GAM menduduki jabatan sebagai Menteri Sosial, juga tewas ditembak tak jauh dari rumahnya pada Mei 1980. Selain itu, Teungku Haji Ilyas Leube yang menggantikan posisi Muchtar sebagai Perdana Menteri, juga tewas di ujung peluru pada Juli 1982.

Para sejarawan Aceh menyebut, Daud Beureueh sebenarnya sangat kecewa dipindahkan ke Jakarta. Selain karena ruang gerak yang selalu diawasi, ia juga sedih karena dijauhkan dengan murid-muridnya. Ia menjadi terhalang menyampaikan ajaran-ajaran Islam. Ia pun tak lagi bisa tampil sebagai imam masjid. Tapi ia sendiri tak kuasa melawan karena kesehatannya sudah menurun. Ia menetap di Jakarta bersama anak dan cucunya dengan fasilitas dari pemerintah.


Kegelisahan Teungku Daud itu dirasakan sahabat dan murid-muridnya. Beberapa orang yang penah dekat dengannya, antara lain Ali Hasjmy (saat itu sebagai Rektor IAIN Ar-Raniry setelah pensiun dari Gubernur Aceh) dan Teungku H Abdullah Ujongrimba (Ketua MUI Aceh), melobi Wakil Presiden Adam Malik agar memulangkan Daud Beureueh ke Aceh. Mereka menjamin, selama di Aceh, Daud Beureueh tak akan memberikan perlawanan kepada pemerintah, apalagi ikut mendukung GAM.


Harapan itu terkabul. Pada 1982 ulama simbol perlawanan itu kembali ke Bumi Seulanga. Malangnya, pada 1985, ia terjatuh dari tempat tidur sehingga engsel pinggulnya mengalami gangguan. Sejak itu ia tidak bisa berdiri. Tamu-tamu yang datang mengunjunginya tetap disambut secara terbuka. Legenda Aceh itu akhirnya meninggal dunia pada 10 Juni 1987.

Jasadnya dimakamkan di bawah pohon mangga di pekarangan Masjid Baitul A’la lil Mujahidin di Beureunen. Seluruh Aceh berduka. Sejak itu, tragedi demi tragedi berkali-kali singgah di bumi Serambi Mekkah. Dua tahun setelah kepergian sang tokoh, Tanah Rencong bersimbah darah dengan digelarnya Operasi Jaring Merah atau pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM).

Sepeninggal Daud Beureueh, Hasan Tiro pun menjadi simbol perlawanan baru, lengkap dengan segala kontroversinya.


Pulang Kampung


Pada 9-10 Oktober 2008 Ratusan kendaraan yang membawa ribuan warga Aceh yang datang dari berbagai kabupaten seperti Aceh Timur, Aceh Utara, Bireun, dan Pidie memadati Banda Aceh. Mereka berkumpul di Kompleks Masjid Raya Baiturrahman Kota Banda Aceh dan rela menginap di tempat-tempat terbuka seperti pelataran Masjid Raya menyambut kedatangan Wali Nanggroe yang juga proklamator Gerakan Aceh Merdeka Hasan Tiro.

Antusiasme juga terlihat dari pengurus dan simpatisan Partai Aceh, salah satu partai lokal yang didirikan mantan aktivis GAM. Ratusan kendaraan yang lalu lalang di berbagai jalan utama kota Banda Aceh ditempeli berbagai atribut Partai Aceh.


SUJUD SYUKUR HASAN TIRO SESAAT TIBA DI BANDARA SULTAN ISKANDAR MUDA BANDA ACEH. 
FOTO | SERAMBI INDONESIA
Pada 11 Oktober 2008 Pesawat sewaan yang mengangkut mantan pemimpin GAM Hasan Tiro (83) mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar, NAD. Kedatangan Hasan Tiro dan rombongan dari Kuala Lumpur, Malaysia, dikawal ketat oleh satuan tugas yang dibentuk Komite Peralihan Aceh.


Saat turun dari tangga pesawat, Begitu turun dari pesawat, Hasan Tiro langsung bersujud mendapat kalungan bunga dari Wakil Gubernur NAD Muhammad Nazar. Dalam rombongan Hasan Tiro terlihat antara lain Gubernur Irwandi Yusuf dan sejumlah mantan petinggi GAM, yakni Muzakkir Manaf serta Dr Zaini Abdullah. Hasan Tiro melambaikan tangan ke arah ratusan orang yang berkumpul di Bandara.

Dari bandara, rombongan Hasan Tiro langsung menuju Masjid Raya Banda Aceh, pusat berkumpulnya ratusan ribu warga. Namun, kondisi fisik dan usia Hasan Tiro tak memungkinkannya berbicara lama secara langsung dengan massa di hadapannya. Hasan Tiro hanya berpidato secara singkat dalam bahasa Aceh. ”Assalamualaikum, saya sudah kembali ke Aceh. Allahu Akbar,” ujarnya

Kemudian ia kembali ke Swedia dan akhirnya kembali menetap di Aceh pada tahun 2010. Masih banyak orang yang berharap ia kembali menjadi pemimpin sejati masyarakat. Ia lalu dipanggil “Wali Nanggroe”, penghargaan adat yang tidak pernah diberikan kepada siapapun selain Hasan Tiro sepanjang sejarah Aceh. Gelar ini diberikan secara “aklamasi” tanpa sebuah proses apapun. Hampir semua orang Aceh tahu kalau ia adalah Wali Nanggroe.


Sang Wali Pergi


Pada 3 Juni 2010, Hasan Tiro kembali terbaring sakit. Jantung, dan komplikasi organ dalam, memaksanya berdiam di Rumah sakit Zainoel Abidin, Banda Aceh. Tekanan darahnya 70-40. Seiring dengan dunia yang terus berputar, dan waktu menjawab banyak persoalan. Kamis, 4 Juni 2010, 26 jam setelah pemerintah Indonesia memberikan hak kewarganegaraan Indonesia kepadanya, Hasan Tiro menghembuskan nafas terkahir di Banda Aceh. Ia dimakamkan di sisi kuburan kakeknya, Teungku Chik Di Tiro, di Aceh Besar. Di sana ia mengakhiri semua petualangan dan perjuangan ideologisnya. Pada saat matahari tegak lurus dengan bumi, pada hari itu, orang-orang Aceh meratap.


Innalillahi Wa Innaillaihi Rajiun...

Kamis, 3 Juni 2010 sekitar pukul 12.12 Wib, tokoh kharismatik Aceh Tengku Muhammad Di Tiro berpulang ke pangkuan illahi di RS Zainal Abidin.


Referensi dari berbagai sumber terpercaya